Sabtu, 23 Agustus 2008

Manusia Garam

. Sabtu, 23 Agustus 2008
0 komentar

Tahukah anda, siapakah manusia garam itu? Di bawah saya tampilkan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW.


يَِأْتِي زَمَانٌ يَغْزُو فِئَامٌ مِنَ النَّاسِ فَيُقَالُ: فِيكُمْ مَنْ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَيُقَالُ: نَعَمْ، فَيُفْتَحُ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ يَأْتِي زَمَانٌ فَيُقَالُ: فِيكُمْ مَنْ صَحِبَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟فَيُقَالُ: نَعَمْ، فَيُفْتَحُ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ يَأْتِي زَمَانٌ فَيُقَالُ: مَنْ صَحِبَ صَاحِبَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟فَيُقَالُ: نَعَمْ، فَيُفْتَحُ




Sedang datang satu zaman yang sekelompok manusia berperang, lalu dikatakan: Apakah di kalangan kamu ada orang yang menjadi sahabat Nabi saw? Lalu dikatakan: Ya betul, lalu dibukalah atas mereka, Lalu datang satu zaman lagi, maka diucapkan: Apakah di kalangan kamu ada orang yang menjadi sahabat para sahabat Nabi saw (tabi’in)? Lalu dikatan: Ya, betul, maka dibukakan atas mereka kemudian datanglah satu zaman, lalu dikatakan: Apakah di kalangan kamu ada orang yang menjadi sahabat orang yang menjadi sahabat dari para sahabat Nabi saw (tabi’it-tabi’in)? Lalu dikatakan: Ya betul, lalu dibukakan (Al-Bukhari, Muslim dari Abu Sa’id ra dan (Kanzul-Ummal, Juz XI/32507)

إِنَّ مَثَلَ أَصْحَابِي فِى أُمَّتِي كَالْمِلْحِ فِى الطَّعَامِ، فَلاَ يَصْلُحُ الطَّعَامُ إِلاَّ بِالْمِلْحِ

Sesungguhnya perumpamaan para sahabatku dalam umatku adalah bagaikan garam dalam makanan, maka tidak enak makanan itu kecuali dengan garam (Ibnul Mubarak dari Anas ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32510)

تُوشِكُونَ أَنْ تَكُونُوا فِى النَّاسِ كَالْمِلْحِ فِى الطَّعَامِ، وَلاَ يَصْلُحُ الطَّعَامُ إِلاَّ بِالْمِلْحِ

Hampir-hampir kamu berada di kalangan manusia seperti garam dalam makanan, dan makanan itu tidak enak kecuali dengan garam ((Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya dari Samrah ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32511)

إِنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ النُّجُومَ أَمَانًا لِأَهْلِ السَّمَاءِ، فَإِذَا طُمِسَتْ اقْتَرَبَ لِأَهْلِ السَّمَاءِ مَا يُوعَدُونَ، وَإِنَّ اللهَ جَعَلَ أَصْحَابِي أَمَانًا لِأُمَّتِي، فَإِذَا هَلَكَ أَصْحَابِي اقْتَرَبَ لِأُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

Sesungguhnya Allah ta’ala telah menjadikan bintang-bintang tunduk (perlindungan) bagi penghuni langit, maka apabila itu dijauhi apa yang diancamkan bagi penghuni langit menjadi dekat, dan sesungguhnya Allah menjadikan para sahabatku perlindungan bagi umatku. Maka apabia para sahabatku sudah tiada, berarti apa yang diancamkan bagi umatku sudah dekat (Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dari Abdullah bin Al-Masturid ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32512)

اَلإِسْلاَمُ عُرْيَانُ فَلِبَاسُهُ الْحَيَاءُ وَزِينَتُهُ الْوَفَاءُ وَمُرُوئَتُهُ الْعَمَلُ الصَّالِحُ وَعِمَارَتُهُ الْوَرَعُ، وَلِكُلِّ شَيْئٍ أَسَاسٌ وَأَسَاسُ اْلإِسْلاَمِ حُبُّ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحُبُّ أَهْلِ بَيْتِهِ

Islam itu telanjang, maka pakaiannya adalah rasa malu, perhiasannya adalah menunaikan janji, kehormatannya adalah amal saleh dan bangunannya adalah menjauhi setiap yang tidak baik. Segala sesuatu mempunyai pondasi, sedang pondasi Islam adalah mencintai para sahabat Rasulullah saw dan mencintai keluarga rumahnya (Ibnu An-Najjar dari Al-Husain bin Ali ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32523)

مَنْ أَحَبَّ جَمِيعَ أَصْحَابِي وَتَوَلاَّهُمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ جَعَلَهُ اللهُ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى الْجَنَّةِ

Siapa yang mencintai semua sahabatku dan melindungi mereka serta memohonkan ampunan bagi mereka, maka Allah menjadikan bersama mereka pada Hari Qiamat di Surga (Ibnu Arafah Al-Abdi dari Jama’ termasuk sahabat ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32524)

مَنْ أَحَبَّ أَصْحَابِي وَأَزْوَاجِي وَأَحْبَابِي وَأَهْلَ بَيْتِي وَلَمْ يَطْعَنْ فِى أَحَدٍ مِنْهُمْ وَخَرَجَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَحَبَّتِهِمْ كَانَ مَعِي فِى دَرَجَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang mencintai para sahabatku, para istriku, para kekasihku dan keluarga rumahku sedang ia tidak mencela seorang pun dari mereka serta ia keluar dari dunia karena mencintai mereka, maka ia bersamaku dalam derajatku pada Hari Qiamat (Al-Malau dalam Sairahnya dari Ibnu Abbas ra dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32525)


Komentar:
Dari beberapa Hadis tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa:
1. Kecintaan para sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in kepada Rasulullah saw sangat tinggi kualitasnya sehingga Allah ta’ala menghargai pengorbanan mereka sampai-sampai Allah ta’ala berjanji jika ada pasukan muslim berperang yang di dalamnya ada unsure dari mereka akan diberi kemenangan.
2. Prestasi dan peran para sahabat Rasulullah saw dalam menegakkan dan menyiarkan Islam itu laksana garam dalam suatu makanan sehingga tanpa mereka itu umat manusia tidak akan dapat merasakan nikmatnya Islam
3. Seorang muslim tidak akan mencapai kemuliaan, bahkan akan dihinakan apabila:
a) Tidak memiliki rasa malu, karena orang tak bermalu itu mudah berbuat amalan tercela dan buruk ibarat seorang telanjang berada di tengah-tengah masyarakat
b) Tidak membuat program atau tidak berjanji untuk ikut serta memperjuangkan kemajuan, kebaikan dan keindahan Islam, karena keindahan seorang muslim itu terlihat dari pelaksanaan program-programnya, ibarat perhiasan yang dapat mempercantik wanita yang mengenakannya.
c) Tidak beramal shaleh, karena kehormatan seorang muslim itu berada pada amal shaleh yang dilakukannya.
d) Tidak mampu mencegah diri dari perbuatan tercela, nista dan buruk, karena kedamaian dan kemuliaan seorang muslim itu terlihat jika ia mampu mencegah diri dari segala perbuatan tercela dan buruk, ibarat seorang manusia yang memiliki rumah yang sehat.
4. Bukti seorang muslim itu adalah mencintai para sahabat Rasulullah saw, para istri beliau, orang-orang yang dicintai beliau dan ahlul-bait serta memohonkan ampunan bagi mereka. Sebaliknya jangan sampai mencela mereka, sebab mereka itu para hamba Allah yang ikut berperan dalam proses sampainya ajaran Islam kepada kita yang dengan itu Allah ta’ala ridha dan memasukkan kita ke dalam Surga-Nya insya Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran:

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

Dan orang-orang bertaqwa digiring kepada Tuhan mereka ke dalam Surga dalam rombongan-rombongan. Hingga apabila mereka sampai padanya dan dibukakan pintu-pintunya, dan berkata kepada mereka penjaga-penjaganya ‘Selamat sejahtera atas kamu! Dan kamu sampai dalam keadaan baik, maka masuklah kamu ke dalamnya untuk selama-lamanya. Dan, mereka akan berkata ‘Segala puji bagi Allah , Yang telah membenarkan kepada kami janji-janji-Nya dan telah mewariskan bumi kepada kami, kami akan bertempat tinggal di Surga di mana pun kami menghendaki. Maka, alangkah baiknya ganjaran orang-orang yang beramal (Az-Zumar, 39:74-75)



-----oo0oo-----



Klik disini untuk melanjutkan »»

Rahasia panjang umur dan banyak rejeki

.
0 komentar

Ada lima tugas utama setiap nabi diutus ke dunia ini, yaitu: 1). Menampakkan mu’jizat kepada umatnya agar dengan menyaksikan itu mereka meyakini kebenarannya; 2). Meluruskan kepercayaan dan keyakinan umatnya yang salah; 3) Memperbaiki amal dan akhlaq umatnya yang telah mengalami kerusakan dari ajaran aslinya; 4) Memberikan hikmah berupa kedalaman dan keluasan ilmu yang mampu menerangi akal dan hati umatnya sehingga mereka mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan umat lainnya sehingga kehidupan mereka lebih maju, lebih baik dan lebih indah yang dapat menarik umat lainnya dan 5). Mempersatukan umatnya. Terlebih Nabi Besar Muhammad SAW, beliau mempunyai tugas yang lebih besar dan luas dibandingkan nabi-nabi lainnya, karena beliau adalah Sang Khatamun-Nabiyyin Sayyidul Anbiyai wal-Mursalin Penghulu para Nabi dan Rasul Allah di jagad raya ini. Sehubungan dengan akhlaq yang utama, beliau pernah bersabda kepada sahabat Uqbah bin Amir RA sebagai berikut:




عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: لَقِيَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَذَرْتُهُ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ أَوْ بَذَرَنِي فَأَخَذَ بِيَدِي فَقَالَ: يَا عُقْبَةُ أَلاَ أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلاَقِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ اْلآخِرَةِ ؟ تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ أَلاَ وَمَنْ أَرَادَ اللهَ أَنْ يَمُدَّ فِى عُمْرِهِ وَيَبْسُطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيَصِلْ رَحِمَكَ

Dari Uqbah bin Amir RA berkata: Nabi SAW bertemu saya, maka aku pegang tangannya atau beliau memegangi tanganku, lalu bersabda: Wahai Uqbah, maukah aku ceriterakan kepada engkau tentang keutamaan akhlaq ahli Dunia dan ahli Akhirat? Sambunglah silaturrahim kepada orang yang telah memutuskan engkau; berilah orang yang mencegah engkau dan berilah maaf orang yang telah menganiaya engaku. Ingatlah! Siapa yang menginginkan Allah memanjangkan umurnya dan meluaskan untuknya rizki-Nya, maka hendaklah ia bertaqwa dan menyambung silaturrhim (Ibnu Jarir dan Kanzul-Ummal, Juz III/ 8694)

Dalam Hadits tersebut, beliau menyebutkan tiga akhlaq utama yang dapat mendatangkan rahmat bagi kehidupan dunia dan akhirat, yaitu:

1. Menyambung hubungan kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengannya. Mengamalkan akhlaq demikian sangat berat, tetapi sangat mulia karena harus mengorbankan tenaga, waktu dan perasaan yang paling dalam. Inilah yang dinamakan silaturrahim., sebagaimana sabda sahabat Umar bin Khaththab RA berikut:

عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: لَيْسَ الْوَصْلُ أَنْ تَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ ذَالِكَ الْقِصَاصُ وَلَكِنِ الْوَصْلُ أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ

Dari Ikrimah RA berkata: Umar bin Khaththab berkata: Bukan silaturrahim engkau mengunjungi orang yang telah mengunjungi engkau, itu adalah kunjungan balasan, akan tetapi silaturrahim itu adalah engkau mengunjungi orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau (Al-Baihaqi dalam Syi’abul-Iman dan Kanzul-Ummal, Juz III/ 8689)

2. Memberikan kebaikan kepada orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu. Akhlaq ini juga berat tapi sangat mulia, karena amalan inilah inti dari ajaran agama Islam, sebagaimana Allah SWT firmankan dalam Al-Quran:

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ya, siapa saja yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia berbuat baik, maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhannya; dan tak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih (Al-Baqarah, 2:112-113)

Bahkan kepada orang yang telah berbuat buruk pun, kita diperintahkan supaya membalas dengan kebaikan kalau ingin menjadi hamba yang dicintai Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi kita Muhammad SAW berikut:

اَلْخَلْقُ كُلُّهُمْ عِيَالُ اللهِ وَتَحْتَ كَنْفِه فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ وَأَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ ضَيَّقَ عَلَى عِيَالِهِ

Semua manusia itu keluarga Allah dan berada dalam lindungan-Nya, maka manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang berbuat baik kepada keluarga-Nya dan orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menyengsarakan keluarga-Nya (Ad-Dailamiy dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz VI/16170).

3. Memberikan maaf kepada orang yang telah berbuat aniaya kepadanya.

Ketiga macam akhlaq mulia ini bukan hanya diajarkan oleh yang mulia Nabi Muhammad SAW, tetapi berkali-kali beliau contohkan dihadapan para sahabat, misalnya beliau memberikan pengampunan umum kepada para pembesar dan masyarakat Quraisy yang belasan tahun menganiaya dan berupaya membunuh beliau, bahkan terhadap Abdullah bin Ubai bin Salul seorang pembesar Madinah yang munafiq Nabi kita Muhammad SAW berkenan menshalatkan janazahnya sampai-sampai sahabat Umar bin Khaththab RA mengingatkan beliau dengan membacakan ayat Al-Quran yang berbunyi:

.. Sekalipun engkau memohonkan ampunan sampai 70 kali, sekali-kali Allah tidakan akan mengampuni mereka ..(At-Taubah, 9:80)

Sepontan Nabi menjawab: “Dalam ayat itu Allah membatasi sampai 70 kali, aku akan memohonkan ampunan lebih dari itu.

Apa yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW itu bukanlah hayalan yang tidak dapat dicohtoh oleh umat Islam. Ketiga ajaran tersebut akan dapat dilaksanakan jika umat Islam memiliki keimanan yang menumbuhkan ketaqwaan sejati seperti para sahabat dan para Imam umat Islam yang dibangkitkan dari abad-ke abad. Pendek kata orang yang ingin Allah memanjangkan umur dan banyak rezekinya, ia harus senantiasa menampilkan sikap taqwa dan menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan hubungan, sebagaimana akhir sabda Nabi kepada sahabat Uqbah bin Amir RA berikut:.

أَلاَ وَمَنْ أَرَادَ اللهَ أَنْ يَمُدَّ فِى عُمْرِهِ وَيَبْسُطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيَصِلْ رَحِمَكَ

Ingatlah! Siapa yang menginginkan Allah memanjangkan umurnya dan meluaskan untuknya rizki-Nya, maka hendaklah ia bertaqwa dan menyambung silaturrhim (Ibnu Jarir dan Kanzul-Ummal, Juz III/ 8694)

-----oo0oo-----



Klik disini untuk melanjutkan »»

TAFSIR AKTUAL ATAS PLURALISME

.
1 komentar


هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِيقُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dialah Yang menurunkan Kitab kepada engkau; sebagian dari ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok Kitab, dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecurangan, mereka mengikuti bagian mutasyabihat itu, karena ingin berbuat fitnah dan ingin membelokkannya dari pokok. Dan tak ada yang mengetahui tafsirnya, melainkan Allah dan mereka yang yang matang dalam ilmu; mereka berkata: “Kami beriman kepada ini; semuanya dari Tuhan kami”. Dan tiada yang menerima nasehat kecuali orang-orang yang berakal. (Ali Imran, 3:8)[2]



Perbedaan Tafsir dalam Islam

Ada satu peristiwa yang baik untuk dikenang agar kepala kita tetap dingin dalam menghadapi perbedaan. Diriwayatkan dari sahabat Khudzaifah Al-Yamani bahwa dia pernah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Beliau ra bertanya, “Bagaimana keadaanmu di pagi ini, wahai putra Al-Yamani?”.

Sahabat Khudzaifah menjawab, “Sebagaimana yang Tuan inginkan. Di pagi ini - demi Allah - aku membenci al-haq, aku mencintai fitnah, aku suka makan darah dan bangkai, aku bersaksi atas apa yang tidak aku lihat, aku shalat tanpa wudhu, terkadang aku juga shalat tanpa ruku’ dan di bumi ini aku memiliki apa yang tidak Allah miliki di langit”

Mendengar jawaban itu, Khalifah marah. Dia segera pergi dan bermaksud untuk memukul Khudzaifah karena ucapannya itu. Di jalan beliau ra berjumpa dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ali melihat bekas kemarahan di muka Khalifah tersebut. “Apa gerangan yang membuat tuan marah?”, Tanya Ali.

“Aku bertemu Khudzaifah Al-Yamani”, jawabnya tegas. “Aku Tanya bagaimana keadaan dia di pagi ini. Jawabnya, pagi ini aku membenci al-haq”, lanjutnya.

Ali berkata: “Dia benar. Dia membenci kematian, dan kematian itu adalah al-haq (kebenaran)”.

“Dia berkata, aku mencintai fitnah” kata Khalifah kesal.

Ali berkata. “Dia benar. Dia mencintai harta dan anak. Allah Ta‘ala berfirman, “Sebenarnya harta dan anak kalian adalah fitnah (ujian) (Al-Taghabun, 64:16)

Khalifah itu berkata lagi, “Katanya, aku suka makan darah dan bangkai”.

“Dia benar. Dia itu suka makan hati yang dalam Hadits disebut darah yang halal dan dia itu suka makan ikan laut yang dalam Hadits dikatakan laut itu suci dan halal bangkainya”.

Khalifah itu berkata lagi, “Katanya, aku bersaksi atas apa yang tidak aku lihat”.

“Dia benar. Dia bersaksi atas keesaan Allah, kematian, kebangkitan, hari Qiamat, Surga dan Neraka. Semua itu belum pernah dia melihat”. Jawab Ali pasti.

Khalifah berkata lagi, “Katanya dia shalat tanpa wudhu”

Ali menjawab, “Dia benar. Dia shalat (maksudnya membaca shalawat) atas anak pamanku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa wudhu dan itu dibolehkan”.

Khalifah berkata lagi, “Katanya dia sering shalat tanpa ruku‘”.

Ali menjawab, “Dia benar. Maksudnya dia sering shalat Janazah. Shalat Janazah itu tanpa ada ruku‘ dan sujud”.

Khalifah berkata, “Wahai Abal-Hasan, dia telah mengatakan sesuatu yang lebih dari itu”.

“Apa itu?” Tanya Ali. Khalifah menjawab, “Katanya dia memiliki sesuatu di bumi yang tidak Allah miliki di langit”.

“Dia benar. Dia memiliki istri dan anak, sedangkan Allah Maha-suci dari mempunyai pasangan dan keturunan”. Jawab Ali enteng.(Mereka bertanya, Ali menjawab, halaman 56-57)

Contoh di atas merupakan bukti konkret Tafsir Aktual atas Pluralisme di zaman Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana sudut pandang Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dengan sudut pandang Sahabat Khudzaifah ra berbeda, sehingga pengertian mereka tentang beberapa hal tersebut nampak bertentangan. Namun, Sahabat Ali bin Abi Thalib ra yang memandang masalah itu dari kedua sudut pandang mereka dapat membenarkan kedua sudut pandang mereka. Jadi, Tafsir Aktual atas Pluralisme sudah ada pada zaman Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perbedaan Tafsir dalam memahami ayat Al-Quran tidak menyebabkan seseorang tersesat asal senantiasa berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula menyebabkan orang dikeluarkan dari Islam asal shalatnya seperti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kiblatnya Ka’bah di kota Mekah Al-Mukarramah dan mau memakan sesembelihan sesama muslim, sebagaimana Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:


تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُولِه

Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, Kitabullah Alquranil-Hakim dan Sunnah Rasul-Nya (Diriwayatkan oleh Malik bin Anas dalam Al-Muwaththa’ dan Misykatu Syarif, Jilid Awal/176)

مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَه ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُولِه فَلاَ تُخْفِرُوا اللهَ فِى ذِمَّتِه

Siapa saja yang shalat seperti shalat kami, berkiblat pada kiblat kami dan memakan sesembelihan kami, maka ia adalah orang muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kamu mengecoh (merusak) Allah dalam hal jaminan-Nya (Shahih Al-Bukhari, kitab Shalat, bab fadhilah istiqbalil-qiblat)

Dua Kelompok Ayat-ayat Al-Quran

Ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran itu dikelompokkan ke dalam ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat. Muhkam berarti: (1) hal yang telah diselamatkan dari perobahan atau penggantian; (2) hal yang tidak mengandung arti kembar atau kemungkinan keragu-ragua; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Mufradat dan Lane). Ayat-ayat Muhkamat itu disebut Umm, yang mengandung arti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan alat dan sebab untuk memelihara dan menunjang atau bantuan dan alat untuk memperbaiki yang lain; (4) sesuatu yang dengan itu benda-benda lain disekitarnya dihubungkan (Aqrab dan Mufradat). Sedang ayat Mutasyabih dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang arti sebenarnya mengandung persamaan dengan arti yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada yang disebut Muhkam; (5) hal yang tak dapat difahami dengan sebenarnya tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran yang sesuai dengan atau menyerupai yang dikandung oleh Kitab-kitab yang diwahyukan terlebih dahulu (Mufradat), sebagaimana firman Allah Ta‘ala berikut:


هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dialah Yang menurunkan Kitab kepada engkau; sebagian dari ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok Kitab, dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecurangan, mereka mengikuti bagian mutasyabihat itu, karena ingin berbuat fitnah dan ingin membelokkannya dari pokok. Dan tak ada yang mengetahui tafsirnya, melainkan Allah dan mereka yang yang matang dalam ilmu; mereka berkata: “Kami beriman kepada ini; semuanya dari Tuhan kami”. Dan tiada yang menerima nasehat kecuali orang-orang yang berakal. (Ali Imran, 3:8)

Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul-Masih Tsani radhiyallahu ‘anhu menyatakan:

“Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur, bahwa membuktikan sesuatu hal yang mnegenainya terdapat perbedaan faham, bagian dari Kitab yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas harus diperhatikan, dan bila bagian yang yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud, maka kalimat itu harus diartikan sedemikian rupa, sehingga menjadikannya selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas penuturannya. Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua macam ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyabih (yang dapat diberi penafsiran yang berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyabih itu ialah, bahwa arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam dalam (39:24) seluruh Al-Quran disebut mutasyabih sepanjang hal yang menyangkut maksud yang hakiki dari ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian, bahwa ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran yang pasti dan kekal abadi. Tetapi dalam pengertian lain, seluruh Al-Quran itu mutasyabih sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata sedemikian, sehingga pada waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik. Al-Quran itu matasyabih pula (menyerupai satu-sama lain) dalam pengertian, bahwa tiada pertentangan atau ketidak selarasan di dalamnya, berbagai ayat-ayatnya itu bantu-membantu satu sama –lain. Tetapi, ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyabih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuannya, keadaan mentalnya dan kemampuan-kemampuannya, seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini. Adapaun nubuwatan-nubuwatan yang disajikan dengan bahasa yang jelas dan langsung, yang dapat diterima dalam satu arti saja, harus dianggap sebagai muhkam, dan nubuwatann yang diuraikan dengan bahasa kiasan atau perumpamaan, yang memungkinkan arti lebih dari satu, harus dianggap mutasyabih. Maka nubuwatan-nubuwatan yang dilukiskan dengan bahasa perumpamaan, harus diartikan sesuai dengan nubuwatan-nubuwatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok. Untuk nubuwatan-nubuwatan muhkam para pembaca diingatkan kepada surat (58:22), sedang (28:86) berisikan nubuwatan-nubuwatan yang mutasyabih. Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyabih itu adalah yang mengandung bagian dari perintah tertentu, dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan peraturan yang lengkap. Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pesti) umumnya membahas hukum dan I’tikad-I’tikad agama, sedang mutasyabihat umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkatan kedua menurut pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian, kadang-kadang memakai bingkaian bahasa (idiom) dan peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti. Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan sedemikian rupa, seolah-olah bertentangan dengan pelajaran-pelajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas. Baiklah dicatat disini, bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi pokok dasar dari ayat-ayat mutasyabih dalam kitab-kitab agama, perlu sekali untuk menjamin keluasan arti dengan kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya, dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan rohani tidak akan mungkin tercapai” (Al-Quran dengan Terjemah dan Tafsirnya, Jilid I edisi pertama, Yayasan Wisma Damai, Bandung 1970)


Metodologi Penafsiran Teks Alquran

Jamaah Islam Ahmadiyah mempunyai metodologi dalam menafsirkan teks ayat-ayat Alquran sehingga setiap Ahmadi dapat mengevaluasi apakah pemahaman suatu ayat yang dimilikinya sudah sesuai dengan kaidah Tafsir yang ditetapkan oleh Pendirinya. Dalam buku Barakatu Doa, Pendiri Jamaah Islam ini telah menetapkan metodologi penafsiran teks Alquran dalam 7 asas, yaitu:

1. Ayat Alquran Ditafsirkan dengan Ayat Alquran.

Tafsir yang shahih itu adalah tafsir yang mendapat kesaksian dari bagian lainnya dalam Alquran. Alquran itu bagaikan sebuah bangunan yang terdiri dari batu bata yang saling mengikat, jika satu bata saja dibuang, maka seluruh gedung itu akan rusak. Jika tidak ada dukungan dari ayat-ayat lainnya, bahkan justru bertentangan, maka kita harus menyadari bahwa tafsir tersebut adalah bathil. Sebab tidak mungkin di dalam Alquran terdapat pertentangan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Dukungan atau kesaksian dalam Alquran itu dinamakan Syawahid Bayyinah.

Contoh:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan. Bukan jalan orang-orang yang terkena murka dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (Al-Fatihah, 1:6-7)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا. ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا

Dan siapa saja ta‘at kepada Allah dan Rasul itu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, maka mereka itulah yang termasuk orang-orang yang telah dikaruniai kenikmatan oleh Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiq, para Syahid dan para Shaleh. Mereka itu adalah sebaik-baik kawan. (Al-Nisa, 4:70)

Orang-orang yang telah diberi kenikmatan dan terhindar dari murka Allah dan jalan sesat pada ayat (1:6-7) di atas, menurut ayat Alquran ( 4:70) adalah orang yang telah menta‘ati Allah dan Rasul itu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, di antara mereka itu ada yang termasuk Nabi, Shiddiq, Syahid dan Shaleh. Jadi, kaum mu’min yang berada di jalan yang benar itu hanya ada 4 golongan pangkat saja. Namun perlu diingat bahwa pintu kenabian yang masih terbuka menurut ayat tersebut adalah Kenabiaan tanpa syariat (Ghairu Tasyri’) dan terkait dengan Kenabian Muhammad saw (Ghairu Mustaqill), dengan kata lain sebagai Nabi Pengikut Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertugas untuk menegakkan Syaria’at Islam kembali, seperti Imam Mahdi dan Nabiyullah Isa ‘alaihis salam dari umat beliau sendiri . Sedang pintu Kenabian bersyariat dan terlepas dari Kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terputus sejak terutusnya Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.

2. Ayat Alquran ditafsirkan dengan Al-Sunnah atau Hadits

Suatu tafsir harus bersesuaian dengan tafsir yang telah dikemukakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini tak diragukan lagi, sebab orang yang paling memahami makna Alquran adalah orang yang kepadanya telah diturunkan Kitab Suci tersebut. Oleh karena itu adalah suatu ketentuan dasar bahwa jika kita ingin menafsirkan suatu ayat Alquran, maka haruslah sesuai dengan tafsir yang telah dikemukakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.

Contoh:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُه أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ

Dan tatkala Isa bin Maryam berkata: Wahai para putra Israil, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada sebelumku tentang Taurat, dan memberi kabar suka tentang seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad. Tetapi tatkala ia datang kepada mereka dengan tanda bukti yang terang, mereka berkata: Ini adalah sihir yang terang (Al-Shaff, 61:7)

Dalam beberapa Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengaku bahwa kedatangannya sebagai Rasul Allah telah dikabar-sukakan oleh Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam Bani Israil pada ayat di atas, adalah untuk diri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya Hadits yang berbunyi:
أَنَا دَعْوَةُ أَبِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَ بُشْرَى عِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ

Aku adalah seorang Rasul Allah berkat doa ayahku Ibrahim dan aku seorang Rasul Allah bernama Ahmad yang dikabar-sukakan Isa ibnu Maryam (Ibnu Sa’ad dari Abdul Rahman bin Mu’mar radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz XI/,31829, 31830,31833, 31834, 31835, 31889)”.

Jadi, Rasul bernama Ahmad yang kedatangannya telah dinubuwatkan Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam dari Bani Israil dalam (61:7) itu adalah nama lain dari Nabi kita Al-Mushthafa Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, karena beliau telah mengaku sebagai seorang Rasul Allah yang kedatangannya telah dikabar-sukakan Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam pada Hadits di atas.


3. Ayat Alquran ditafsirkan dengan Atsar Sahabat.

Sebagai pedoman selanjutnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini tak diragukan lagi bahwa merekalah orang-orang yang pertama kali mewarisi ilmu-lmu ma’rifat Quraniyah langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada zaman permulaan. Pada mereka turun karunia Ilahi dan pertolongan-Nya, sehingga memberikan kemantapan di dalam daya-pikir/cerna mereka terhadap Alquran. Mereka tidak hanya mendengar langsung (qaul) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, bahkan mereka sendiri turut menyaksikannya.

Contoh:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Tatkala Allah berfirman: Wahai Isa, Aku akan mewafatkan engkau dan meninggikan engkau di hadapan-Ku dan membersihkan engkau dari orang-orang kafir dan membuat orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang kafir sampai hari Qiamat (Ali Imran, 3:56)

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مُتَوَفِّيكَ مُمِيتُكَ

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Mewafatkan engkau maknanya mematikan engkau (Al-Bukhari, Juz III, halaman 126)

Menurut Sahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dikenal sebagai Ahli Tafsir pada masa Sahabat bahwa lafazh Mutawaffika pada (3:56) ditafsirkan dengan Mumituka artinya mematikan engkau. Jadi, beliau meyakini bahwa Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam telah wafat sekitar 600 tahun sebelum Alquran diturunkan.

4. Ayat Alquran ditafsirkan dengan apa yang ada pada hati orang yang suci.

Orang yang dapat menggali makna atau ma’rifat Qur’aniyah adalah orang-orang yang mensucikan dirinya (dan memperoleh taufiq dari Allah ta‘ala untuk disucikan). Hati yang suci akan langsung mengenali serta langsung mengakui bahwa memang inilah jalan yang benar. Nur Ilahi tersebut menjadi suatu standar/pegangan untuk membuka rahasia-rahasia kebenaran. Jadi, selama manusia tidak membenahi dirinya dan ia tidak melalui “jalan sempit” yang selama ini dilewati oleh para Nabi, maka sebaiknya janganlah ia duduk melakukan penafsiran terhadap Alquran dengan penuh ketakabburan dan kelancangan. Sebab kalau demikian berarti ia melakukan penafsiran berdasarkan kehendaknya sendiri yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sangat melarang hal itu.

Contoh:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab ini, tiada keraguan di dalamnya adalah petunjuk bagi orang-orang yang taqwa (Al-Baqarah, 2:3)

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam, sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih menafsirkan ‘Hudan lil-muttaqin’ pada awal surat Al-Baqarah di atas sebagai berikut:

Seolah-olah Allah Ta‘ala sudah siap memberi. Yakni, Kitab ini menjanjikan untuk menyampaikan orang muttaqi kepada kesempurnaannya. Jadi artinya adalah bahwa Kitab ini bermanfaat bagi mereka yang bersedia untuk bertaqwa dan mendengarkan nasehat. Orang muttaqi pada derajat ini adalah dia yang secara alami siap untuk mendengarkan kebenaran. Misalnya, ketika seseorang menjadi muslim, maka dia akan menjadi muttaqi. Ketika datang hari-hari yang baik bagi agama lain, maka di dalam dirinya timbul ketaqwaan dan lenyaplah sifat keangkuhan, kesombongan serta ketakaburan. Ini semua adalah penghalang-penghalang yang telah punah. Dengan kepunahan sifat-sifat itu, maka jendela rumah yang gelap menjadi terbuka dan sinar-sinar pun telah masuk ke dalamnya.

Yang difirmankan bahwa Kitab ini adalah petunjuk bagi orang-orang muttaqi, yakni ‘Hudan lil-Muttaqin’, kata ‘ittiqa’ yang berasal dari bab ‘ifti‘al’. Bab ini digunakan untuk menyatakan suatu hal yang dilakukan dengan usaha/kegigihan, yakni di dalamnya terdapat isyarat bahwa ‘Ketaqwaan yang Kami inginkan di sini adalah tidak kosong dari usaha gigih – yang mana untuk menjaga ketaqwaan itulah terdapat petunjuk-petunjuk di dalam Kitab ini’. Seakan-akan orang yang muttaqi itu terpaksa harus menanggung derita/susah-payah dalam melakukan kebaikan. (Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau‘ud ‘alaihis salam pada jalsah Salanah 25 Desember 1897 M, Malfuzhat Jilid I, halaman 21. Terjemahan Mukhlish Ilyas)


5. Ayat Alquran ditafsirkan dengan bahasa Arab

Hal ini memang menentukan. Akan tetapi, Alquran telah menyajikan dengan begitu hebat permasalahan-permasalahannya, sehingga kadang-kadang tidak perlu harus membongkar dari segi bahasa. Hal ini memang tidak diragukan lagi bahwa untuk pengembangan dan pendalaman pandangan, hal itu sangat perlu sekali. Bahkan kadang-kadang dengan mengambil dari segi bahasa, timbul perhatian yang kuat kea rah rahasia-rahasia terpendam yang dimiliki oleh Alquran. Sehingga akhirnya terbongkarlah ma’rifat-ma’rifat tersebut.

Contoh:

مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Aku tak berkata apa-apa kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu: Mengabdilah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian; dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka, tetapi setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah Yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Yang Maha-menyaksikan segala sesuatu (Al-Maidah, 5:118)

Kata ‘Tawaffaitani’ pada ayat di atas berdasarkan Kamus Bahasa Arab maknanya hanyalah ‘Engkau telah mematikan aku’. Tidak ada arti yang lain, misalnya:

تَوَفَّى اللهُ فُلاَنًا أَيْ قَبَضَ رُوحَه

Tawaffallahu fulanan artinya Dia telah mencabut rohnya (Aqrabul-Mawarid)

تَوَفَّاهُ اللهُ أَيْ قَبَضَ رُوحَه

Tawaffahullahu artinya Dia telah mencabut rohnya (Al-Qamus Al-Muchid)

تَوَفَّاهٌ اللهُ : إِذَا قَبَضَ نَفْسَه

Tawaffahullahu: Apabila Dia mencabut jiwanya (Lisanul-Arabi)

تَوَفَّاهُ اللهُ أَمَاتَه. تُوُفِّيَ فُلاَنٌ: قُبِضَتْ رُوحُه وَمَاتَ

Tawaffahullahu Amatahu. Fulan diwafatkan: Rohnya dicabut dan ia mati (Al-Munjid)


6. Ayat Alquran ditafsirkan Hukum Alam

Untuk memahami silsilah / alamrohaniyah, Allah Ta‘ala telah menyediakan silsilah / alamjasmani. Sebab, Dia menciptakan kedua silsilah tersebut saling bersesuaian. Yakni, tidak harus sesuai dengan ilmu alam, melainkan harus sesuai dengan hukum alam. Hukum alam adalah bentuk kodrat Ilahi seadanya. Sedangkan ilmu alam adalah definisi qudrat Ilahi yang disimpulkan oleh otak manusia.

Contoh:

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

Dan goyangkanlah batang kurma kearah engkau; itu akan menjatuhkan buah kurma segar-segar yang sudah masak di hadapan engkau (Maryam, 19:26)

Berdasarkan Hukum alam, Yudea daerah kelahiran Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam mengenal 4 musim, yaitu:

· Musim dingin terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari

· Musim semi terjadi pada bulan Maret, April dan Mei

· Musim Panas terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus

· Musim gugur terjadi pada bulan September, Oktober dan November

Menurut firman Allah dalam (19:26) di atas ketika Al-Masih ibnu Maryam ‘alaihis salam dilahirkan pohon-pohon kurma yang ada di daerah sekitar kelahiran beliau ‘alaihis salam buahnya sedang masak-masak. Berdasarkan hukum alam hal itu terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur. Jadi, kemungkinan beliau ‘alaihis salam dilahirkan hanyalah pada bulan Agustus atau September.


7. Ayat Alquran ditafsirkan dengan Wahyu, Ilham dan kasyaf.

Asas Tafsir ketujuh ini merupakan asas tertinggi dari seluruh asas-asas lainnya. Sebab, orang-orang yang memperoleh wahyu/ilham/kasyaf dari Allah Ta‘ala, mereka akan menjadi sewarna dengan para Nabi. Untuk mereka akan dibukakan rahasia-rahasia rohani tersebut sebagaimana telah dibukakan kepada para Nabi, walaupun tanpa memperoleh pangkat Kenabian. Untuk mereka akan ditampakkan dengan meyakinkan ilmu-ilmu yang murni. Dan tidak sekedar demikian saja, melainkan semua rahasia-rahasia itu dibukakan kepada mereka sebagai anugerah atau hadiah, sebagaimana yang telah dianugerahkan kepada para Nabi. Jadi, keterangan mereka (ahli kasyaf/wahyu) bukanlah rekaan, bahkan mereka itu berbicara setelah menyaksikan dan berkata setelah mendengar.

Dan jalan tersebut terbuka bagi umat ini. Sama sekali tidak mungkin dalam umat Islam ini, tidak ada satu pun pewaris hakiki ilmu kenabian (wahyu, ilham dan kasyaf). Seorang yang merupakan cacing dunia dan bergelimang dalam kemegahan serta kesemaraan dunia, ia tidak mungkin dapat menjadi pewaris ilmu kenabian. Sebab Allah Ta‘ala telah berjanji bahwasanya selain kepada orang-orang suci/disucikan, ilmu kenabian tersebut tidak akan diberikan kepada siapa pun.

Contoh:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kitab ini, tiada keraguan di dalamnya adalah petunjuk bagi orang-orang yang taqwa (Al-Baqarah, 2:3)

Sebelum tahun 1891 M, Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah masih berpendirian bahwa Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam masih hidup di langit. Meskipun beliau ‘alaihis salam hafal ayat di atas dan ayat-ayat yang senada dengan itu. Namun, setelah beliau memperoleh wahyu di bawah ini, baru beliau menafsirkan ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada dengan itu bahwa Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam sudah wafat, sampai-sampai beliau mengadakan penelitian sehingga beliau mendapat kesimpulan bahwa makam Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam berada di Jl. Kanyar, Srinagar, Kasymir, India. Wahyu tersebut berbunyi sebagai berikut:

وَأَنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنِي أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ قَدْ مَاتَ وَلَحِقَ اْلأَمْوَاتَ وَأَمَّا الَّذِي كَانَ نَازِلاً مِنَ السَّمَاءِ فَهُوَ هذَا الْقَائِمُ بَيْنَكُمْ كَمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مِنْ حَضْرَةِ الْكِبْرِيَاءِ

Dan sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepadaku bahwa Isa ibnu Maryam itu sungguh telah wafat mati dan telah bertemu dengan orang-orang yang mati. Adapun orang yang turun dari langit itu adalah orang yang berdiri di antara kalian ini, sebagaimana itu telah diwahyukan kepadaku dari Tuhan Yang menampakkan keagungan-Nya (Al-Khuthbah Al-Ilhamiyah, halaman alif).

Berkat wahyu, kasyaf, Ilham, Ru’yah Shalihah, Mukalamah, Mukhathabah dan Tachdits Allah Ta‘ala, maka rahasia makna Alquran dapat dimengerti dan menambah keyakinan akan kebenaran Alquran. Jadi, setiap wahyu yang diturunkan setelah Nabi kita Al-Mushthafa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam hanya sebagai pelayan untuk mendapatkan hidayah Alquran, tidak mungkin bertentangan atau merobahnya. Hal ini dinyatakan oleh Masih Mau‘ud ‘alaihis salam sebagai berikut:

إِنَّ مِنْ أَنْوَاعِ الْهِدَايَةِ كَشْفًا وَإِلْهَامًا وَرُؤْيَةَ الصَّالِحَةِ وَمُكَالَمَاتٍ وَمُخَاطَبَاتٍ وَتَحْدِيْثًا لِيَنْكَشِفَ بِهَا غَوَامِضَ الْقُرْآنِ وَيَزْدَادَ الْيَقيْنَ

Sesungguhnya kasyaf, ilham, ru’yah shalihah, mukalamah, mukhathabah dan tahdits itu termasuk macam-macam hidayah untuk membuka rahasia kandungan Alquran dan untuk menambah keyakinan (Chamamatul-Busyra, halaman 287)

Pendek kata dalam memahami teks ayat Alquran, Pendiri Jamaah ini senantiasa berpedoman kepada setiap ketetapan Al-Sunnah, Alquran dan Ijma‘ para Shahabat yang mulia, karena semua itu merupakan bangunan Islam. Pernyataan beliau ‘alaihis salam tentang hal ini sebagai berikut:

وَيَعِدُ وَيُقِرُّ بِأَنَّه لَنْ يَبْتَغِيَ دِينًا غَيْرَ دِيْنِ الْإِسْلاَمِ وَيَمُوتُ عَلَى هَذَا الدِّينِ دِيْنِ الْفِطْرَةِ مُتَمَسِّكًا بِكِتَابِ اللهِ الْعَلاَّمِ وَيَعْمَلُ بِكُلِّ مَا ثُبِتَ مِنَ السُّنَّةِ وَالْقُرْآنِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ الْكِرَامِ وَمَنْ تَرَكَ هَذِهِ الثَّلاَثَةَ فَقَدْ تَرَكَ نَفْسَه فِى النَّارِ

Dan ia setiap Ahmadi berjanji dan berikrar tidak akan memilih agama selain agama Islam serta ia akan mati di atas agama ini, yaitu agama fitrah dengan berpegang teguh kepada Kitab Allah Yang Maha-Tahu dan mengamalkan setiap apa yang ditetapkan Sunnah, Alquran dan Ijma’ Sahabat yang mulia; dan siapa yang meninggalkan tiga hal ini, sungguh ia telah meninggalkan dirinya dalam Api Neraka (Ruhani Qhazain, Jilid XIX, Mawahibur-Rahman, hal. 315).


DAFTAR PUSTAKA

1. Hadhrat Mirzâ Basyîru'd-dîn Mahmûd Ahmad, Tafsîr Shaghîr, terjemahan Dewan Naskah Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1997 (3).

2. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Matan Al-Bukhari, , Sulaiman Mar‘I, Singapurah.

3. ‘Allâmah ‘Alâu'd-dîn ‘Alî Al-Muttaqi bin Hisâmu'd-dîn Al-Hindi Al-Burhân Fauri, Kanzul-Ummâl Fî Sunani'l-Aqwâl wa'l-Af’âl, Muassasatu'r-Risâlah, Beirut, Libanon, 1989 M/1409 H.

4. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy‘ats Al-Sijistani, Thaha Putra, Semarang.

5. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Ainah Kamalati Islam, , Asy-Syirkatul-Islamiyah, Rabwah

6. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Tuhfatu Baghdad

7. Hadhrat Aqdas Masih Mau‘ud as Mirza Ghulam Ahmad, Al-Huda Wal-Tabshirah Liman Yara, , Darul-Aman Qadian, Dhiya’ul-Islam 1902 M.

8. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.as. Itmamul-Hujjah.

9. Mirza Ghulam Ahmad.as. Chamamatul-Busyra.

10. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as.Mawahibul-Rahman.

11. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Catatan Barakatu Doa, Sulthanul-Qalam, (1893), Terjemahan Mukhlis Ilyas 1990.

12. Imam Mahdi dan Masih Mau‘ud as, Malfuzhat.

13. Sa’id Al-Ghauri Asy-Syarthuti, Aqrabul-Mawarid

14. Syeh Majduddin Muhammad bin Ya‘kub Al-Firazabadi, Al-Qamusul-Muchith.

15. Lisânul-‘Arab, Imâm ‘Allâmah Ibnu Manzhur Daru Ihyâ’, Beirut, Libanon.

16. Al-Munjid,Bairut Libanon, 1986M.

17. Mereka Bertanya Ali Menjawab, Seri Tanya Jawab I, Muhammad Ridha Al-Hakimi, Yayasan Al-Jawad.

-----oo0oo-----

[1] Makalah ini insya Allah disajikan pada Seminar di Fisipol, UNAIR Surabaya Selasa, 20 September 2005.

[2] Penulisan nomor ayat Al-Quran pada makalah ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat sahabat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma yang menunjukkan bahwa setiap basmalah pada tiap awal surat adalah ayat pertama surat itu.

.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحمْـاـنِ الرَّحِيْمِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui pemisahan surat sehingga bismillaahir-rachmaanir-rachiim turun kepadanya.” (Abu Daud, “Kitab Shalat”; dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”)



Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Taman Islam is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com