Sabtu, 20 Desember 2008

REKONTEKSTUALISASI TEOLOGI ISLAM DALAM PERSPEKTIF AHMADIYAH

. Sabtu, 20 Desember 2008

REKONTEKSTUALISASI TEOLOGI ISLAM DALAM PERSPEKTIF AHMADIYAH


اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَه بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَه عَلَى الدِّينِ كُلِّه وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ رُسُلِه وَأَفْضَلِ أَنْبِيَاءِه وَسُلاَلَةِ أَصْفِيَائِه مُحَمَّدِ نِالْمُصْطَفَى الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْهِ اللهُ وَمَلاَئِكَتُه وَالْمُؤْمِنُونَ الْمُقَرَّبُونَ


Setelah memanjatkan puji ke Hadhirat Allah Ta’ala dan menyampaikan shalawat untuk Junjungan kita yang Mulia Al-Mushthafa Muhammad shallallahu ‘alai wa sallam, kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Yang terhormat Bapak Dekan dan Segenap Panitia Dialog Dewan Pakar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada kami untuk memperkenalkan Jemaat Ahmadiyah di hadapan Dewan Pakar dan Para Guru Besar Yang diberkati Allah Ta’ala.

Dengan rendah hati, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam kami menyajikan dan mengungkapkan isi hati kami terdapat kata dan tingkah laku kami yang kurang berkenan di hadapan Dewan Pakar yang terhormat, karena kami menyadari keterbatasan ilmu dan pengalaman kami.

Harapan kami, semoga apa yang kami sajikan ini dapat memberikan gambaran yang cukup untuk memenuhi harapan Panitia dan Dewan Pakar yang terhormat. Semoga Allah Ta’ala memberkati dan meridhai kita semua. Amin!

1. Teologi Ahmadiyah tidak Bertentangan dengan Aqidah Pokok Islam
Teologi dan Aqidah Ahmadiyah berdasarkan Kitabullah Alquran-l-Karim, Sunnah dan Hadits Rasul-Nya Muhammad saw, sedikitpun tidak bertentangan dengan Teologi dan Aqidah-aqidah Islam. Agar lebih jelas kami kutibkan beberapa pernyataan Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam dari beberapa buku beliau yang berbahasa Arab (terlampir).

Selanjutnya, Hadhrat Khalifatul-Masih Tsani, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra menyatakan:
• Kami berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala ada; dan beriman kepada wujud-Nya merupakan pengakuan terhadap kebenaran yang paling agung dan bukan takhayyul.
• Kami beriman bahwa Allah Ta’ala Esa dan tidak ada sesuatu yang berserikat dengan Dia-tidak di bumi dan tidak juga di langit. Selain Dia segala sesuatu merupakan makhluk-Nya dan setiap saat mereka menggantungkan nasib mereka kepada bantuan dan dukungan-Nya.
• Kami berkeyakinan bahwa Dzat Allah itu suci lagi bersih dari segala keaiban, dan di dalam Dzat-Nya terhimpun segala kebagusan; tidak terdapat satu cacat di dalam Dzat-Nya.
• Kami berkeyakinan bahwa Malaikat adalah makhluk Allah Ta’ala, dan menjadi bukti akan firman Allah, yang artinya: “Melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka” (An-Nahl, 16:50).
• Kami berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan hamba-hamba-Nya dan menyatakan kehendak-Nya kepada mereka. Kalam (firman) turun berupa kata-kata khusus dan di dalam turunnya (kalam itu) tidak ada campur tangan manusia.
• Kami berkeyakinan manakala dunia diliputi kegelapan dan orang-orang bergelimang di dalam noda kefasikan dan kedurjanaan dan sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari cengkraman syetan tanpa pertolongan samawi, maka Allah Ta’ala dengan kebajikan-Nya yang sempurna dan dari Kasih-Nya yang tak terhingga senantiasa memilih beberapa di antara hamba-hamba-Nya yang suci lagi mukhlis dan mengutus mereka ke dunia untuk memberi bimbingan. Sebagaimana Dia berfirman yang artinya: “Tiada suatu umat melainkan telah datang kepadanya seorang pemberi peringatan” (Fathir, 35:24)
• Kami berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala berkenan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya dan menjauhkan kesulitan-kesulitan mereka.
• Kami berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala senantiasa memberlakukan taqdir-Nya yang khusus di dunia ini. Tidak hanya hukum kudrat-Nya yang berlaku (hukum alam) melainkan berlaku pula sebuah taqdir khas yang dengan perantaraan itu Dia senantiasa memperlihatkan kekuasaan dan kebesaran-Nya dan mempertunjukkan alamat kudrat-Nya.
• Kami berkeyakinan bahwa sesudah manusia mati, ia akan dibangkitkan lagi, dan amal perbuatannya akan dimintakan pertanggung jawaban.
• Kami berkeyakinan bahwa orang yang mengingkari Allah Ta’ala dan orang yang menentang agama-Nya, jika ia tidak diampuni dengan rahmat-Nya yang sempurna, akan ditempatkan di suatu tempat yang di namakan Jahannam, yang di dalamnya terdapat adzab panas api atau dingin yang hebat.
• Kami berkeyakinan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala, Nabi-nabi-Nya, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan beriman dengan segenap jiwa raganya kepada perintah-perintah-Nya serta menempuh cara-cara yang menunjukkan kerendahan hati dan tidak menyombongkan diri meskipun mereka orang-orang besar, mereka menampilkan diri seperti orang kecil. Meskipun mereka orang kaya, mereka menjalani hidup seperti orang miskin. Mereka berbakti kepada makhluk Allah. Mereka mendahulukan kesejahteraan orang lain daripada kesenangan sendiri. Mereka pantang berbuat aniaya, berbuat sesuatu yang melampaui batas dan khianat. Mereka menjadi pengemban nilai budi luhur dan menjauhkan diri dari budipekerti rendah. Orang-orang itu akan ditempatkan di tempat yang disebut Jannat (Sorga) yang di dalamnya tidak terdapat sekelumitpun bayang-bayang kesusahan dan penderitaan selain santai dan ketentraman. Mereka akan memperoleh keridhaan Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dengan melihat Wajah-Nya (Dakwatul-Amir, terjemahan Indonesia 1989, halaman 4-11)


Tanggapan Terhadap Tuduhan palsu atau Fitnah.
Sejak Ahmadiyah berdiri sering dituduh dan difitnah oleh para Ulama yang belum mengerti atau mereka yang tidak mau mengerti, meskipun penjelasan yang penuh dalil dan argumentasi yang mudah dicerna akal telah disampaikan kepada mereka. Di antara tuduhan palsu atau fitnah itu ada yang tertangkap Panitia Dialog Terbatas Dewan Pakar Fakultas Ushuluddin dan Fisafat UIN Jakarta yang melatarbelakangi diselenggarakannya Dialog ini.

Di antara tuduhan itu ialah:
Rukun Islam dan Imannya Ahmadiyah itu berbeda;
Mengusung Nabi Baru; Memiliki Kitab suci sendiri (Tadzkirah); Organisasi eksklusif;
Jamaah di luar Islam, sesat menyesatkan dan murtad.

Semua tuduhan itu adalah salah dan bertentangan dengan kenyataan yang ada pada Ahmadiyah. Guna lebih jelasnya, kami sampaikan beberapa pernyataan Pendiri Ahmadiyah berkaitan dengan Rukun Islam dan Rukun Iman:

Rukun Islam :

Dua Kalimah Syahadat
Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 307, Cet.Add. Nazhir Isyaat 1984)
“Diriku yang lemah telah diutus ke dunia menyampaikan pesan Tuhan untuk menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Alquran dan Laa ilaaha illallaahu Muchammadur Rasuulullaah – Tidak ada tuhan kecuali Allah, Muhammad Utusan Allah – adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Menegakkan Shalat
Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Salah satu arti dari surat Al-Fatihah ialah yang menaklukkan. Dia itu membuktikan seseorang menjadi beriman atau ingkar. Dengan kata lain, dia membedakan antara dua hal tersebut. Dia membukakan hati dan memberikan pengertian. Itulah sebabnya surat Al-Fatihah harus dibaca begitu sering dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan. Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan agar mencukupi kebutuhannya. Shalat tidak dapat dinikmati sepenuhnya, kecuali oleh orang yang merendahkan dirinya saat shalat dan menjadikannya sebagai sarana permohonannya.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 145, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984) “Masalahnya adalah bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak nafsu serta meninggalkan egonya lalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatannya selaras dengan kehendak Tuhan.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 14-15, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Selanjutnya beliau ‘alaihis salaam menerangkan, “Apa yang dimaksud dengan shalat? Ia merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak faham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Saya sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa.” (Malfuzhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dengan sikap penuh sopan. Tatkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan itu adalah Ghani (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak faham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berantakan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan, dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Bahkan beliau ‘Alaihis-salaam menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.
Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:
فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَرْكَبٌ يُوْصِلُ الْعَبْدَ اِلىَ رَبِّ الْعِبَادِ
“Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” (I’jazul-Masich, hal. 164)

Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan kesempatan dan sarana efektif yang bisa mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.

Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:
وَمِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ أَنْ يَكُوْنَ اْلإِنْسَانُ محُـَافِظًا عَلَى الصَّلَوَاتِ الخْـَمْسِ ِفى أَوَائِلِ أَوْقَاتِهَا
“Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktunya.” (I’jazul-Masich, hal. 163-164)

Pernyataan beliau ‘Alaihis-salaam ini sesuai dengan sabda Hadhrat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:
أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الصَّلاَةُ ِفيْ أَوَّلِ وَقْتِهَا
“Yang paling utama dari amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.” (HR Abu Daud, At-Turmudzi, dan Al-Chakim dalam Al-Mustadrak—dari Hadhrat Ummu Fardah radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz VII/18900)


Puasa Bulan Ramadhan
Sehubungan dengan Rukun Islam ketiga, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, sehingga ia memperoleh tabattul (Surat Al-Muzammil, 73:9) ) dan inqithaa' ). Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
“Puasa dan shalat, kedua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu ia lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, kadang-kadang juga dapat dialami oleh para yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). “Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Membayar Zakat
Perintah Zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Alquran, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam Hadits-Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Taala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بهِـَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah dari orang-orang beriman [yang bernaung di bawah pemerintah Islam] sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam) akan dapat membersihkan [hati mereka] dan juga engkau akan dapat membersihkan [harta benda (zakat)] mereka dari campuran harta orang lain dan doakanlah mereka.” (At-Taubah, 9 : 104)

Sehubungan dengan rukun Islam keempat ini, beliau ‘Alaihis-salaam pernah menetapkan tentang masalah zakat perhiasan. Sabda beliau, “Perhiasan pakaian tidak wajib zakatnya. Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya dibayarkan juga hendaknya. Pakaian perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa setengah ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi, perhiasan dan uang yang disimpan wajib zakatnya. Tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).” (Majmu’ah Fatawa-e-Achmadiyyah, Jil. I, hal.163; terjemahan Alm. Mln. Ahmad Nuruddin rachimahullaahu)

Menunaikan Ibadah Haji
Berkenaan dengan rukun Islam kelima, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda: “Lihat, pergi menunaikan ibadah Haji dengan ikhlas dan kecintaan adalah perkara mudah. Namun, kembali dalam kondisi yang seperti itu adalah sulit. Banyak sekali orang yang pulang dalam keadaan gagal dan kalbunya menjadi keras. Penyebabnya adalah mereka tidak menemukan hakikat yang ada di sana. Melihat kekurangan-kekurangan, mereka langsung protes sehingga mereka luput dari karunia-karunia di sana akibat dari perbuatan buruk mereka sendiri, dan karena melontarkan tuduhan pada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, adalah penting tinggal menetap bersama Utusan [Ilahi] untuk beberapa lama dengan hati tulus dan teguh supaya manusia menjadi sadar akan kondisi-kondisi batinnya dan supaya kebenaran itu sepenuhnya menyinari.” (Malfuzhat, Jld. V. hal. 177, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Kami tidak pernah membuat kalimah syahadat atau shalat atau ibadah Haji atau masjid sekecil apapun yang terpisah dari mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tugas kami ialah untuk mengkhidmati agama Islam ini; dan memenangkan agama ini di atas semua agama lain serta mengikuti hukum-hukum Alquran yang mulia dan Hadits-hadits yang terbukti berasal dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hadits paling lemah pun kami anggap wajib diamalkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Alquran yang mulia; dan kami mengakui bahwa Bukhari dan Muslim ialah ashachchul-kutub sesudah Kitab Allah.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 138-139, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Namun, ada sebagian orang Islam yang berupaya menghalang-halangi orang Islam yang ingin menunaikan ibadah Haji ke Baitullah. Padahal sikap demikian ini sangat bertentangan dengan Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hadhrat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ إِتَّقُوْا اللهَ وَلاَ تمَـْنَعُوْا مِنَ الحْـَاجِّ شَيْئًا ممِـَّا يَنْتَفِعُ بِه فَإِنْ فَعَلْتُمْ فَأَنَا خَصْمُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Wahai kaum Quraisy, bertakwalah kepada Allah dan janganlah melarang orang mengambil manfaat dari ibadah Haji, apabila kamu melakukan pelarangan Haji, maka aku menjadi musuhmu di hari Qiyamat.” (HR Abu Nu’aim dari Hadhrat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz V/12361)
BERDASARKAN beberapa kutipan dari buku Pendiri Jemaat Ahmadiyah di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa penjelasan Rukun Islam yang diajarkan dan ditegakkan dalam kehidupan setiap orang Ahmadiyah itu adalah sama persis dengan Rukun Islam yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Besar Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقِيْقَةُ اْلإِسْلامِ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَّ إِلـاـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ محُـَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتحَـِجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Hakikat Islam ialah engkau bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Utusan Allah, engkau menegakkan shalat, memberikan zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan Haji ke Baitullah, jika engkau mampu ke sana.” (HR Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi dan An-Nasai—dari Umar radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz I/18)

Rukun Iman

Iman Kepada Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dan Malaikat-Nya
Berkaitan dengan Rukun Iman pertama dan kedua, Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam bersabda, “Semakin kuat iman, semakin baik amal perbuatannya; sedemikian rupa sehingga, jika kekuatan iman ini memperoleh kesempatan mencapai puncaknya, orang tersebut akan mencapai taraf syahid karena dalam hal ini tidak ada yang dapat menghalang-halanginya dan dia tidak enggan mengorbankan hidupnya.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 326, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Selanjutnya, beliau ‘Alaihis-salaam menerangkan bahwa “Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Dia Yang memiliki seluruh sifat mulia dan bersih dari segala macam kelemahan/kekurangan. Dia adalah Pencipta dan Penguasa seluruh benda. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Islam tidak menjadikan suatu makhluk pun sebagai Tuhan atau sekutu bagi Tuhan. Islam mengajarkan perbedaan antara Khaliq dan Makhluq.” (Malfuzhat, Jld. IV, hal. 145 , Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984) “Untuk itu adalah penting agar kalian mewakafkan hidup kalian di jalan Allah. Dan, inilah Islam. Inilah tujuan yang untuknya saya diutus.” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 188-189, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam bersabda:
جِئْتُ ِلأُقِيْمَ النَّاسَ عَلَى التَّوْحِيْدِ
“Aku datang untuk menegakkan manusia di atas tauhid.” (Al-Istiftaa', hal. 45)

وَأَعْتَقِدُ إِنَّ لِلّهِ مَلاَئِكَةٌ مُقَرَّبِينَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَقَامٌ مَعْلُومٌ
Dan aku berkeyakinan bahwa sesungguhnya Allah itu mempunyai malaikat-malaikat yang dekat, masing-masing dari mereka mempunyai kedudukan yang tertenru …. (Ainah Kamalati Islam, halaman 384)


Iman Kepada Kitab-Kitab Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa
Berkaitan dengan Rukun Iman ketiga Hadhrat Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam menyatakan, “Diriku yang lemah telah diutus ke dunia untuk menyampaikan pesan Tuhan untuk menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Alquran; dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur-Rasuulullaah adalah pintu memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Sama sekali tidak mungkin mendapat keberhasilan tanpa mengikuti ajaran Alquran, jika seseorang berfikir sebaliknya, itu hanyalah semata-mata khayalan; orang-orang duniawi mengejar keberhasilan macam ini.” (Malfuzhat, Vol, II, hal. 157, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Di masa kita, ada pertanyaan yang muncul: Apa sebab-sebab yang mengakibatkan kemunduran Islam, dan apa pula sarana-sarana yang melaluinya timbul jalan keluar bagi kemajuannya? Orang-orang telah memberikan berbagai macam jawaban atas hal itu sesuai dengan pemikiran masing-masing. Namun, jawaban yang benar adalah bahwa kemunduran itu terjadi karena meninggalkan Alquran. Dan, hanya dengan melakukan perbuatan yang sesuai dengan Alquran-lah kondisinya akan menjadi baik.” (Malfuzhat, Vol. V, hal. 256, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Selanjutnya beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Ini adalah suatu Kitab yang selaras dengan kodrat. Sebagaimana difirmankan: Fiihaa kutubun qoyyimah (Al-Bayyinah, 98 : 4). Ini adalah lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat seluruh kebenaran. Betapa beberkatnya Kitab ini dimana di dalamnya terkandung segala sarana untuk mencapai derajat yang paling tinggi.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 39, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). Maka dari itu, beliau ‘Alaihis-salaam mengajak umat manusia untuk memahami dan melaksanakan ajaran Alquran.
Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

وَمَا آمُرُ النَّاسَ اِلاَّ بِالْقُرْآنِ وَاِلَى الْقُرْآنِ وَاِلَى طَاعَةِ الرَّبِّ الَّذِيْ اِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ
“Aku tidak menyuruh manusia kecuali dengan Alquran dan kembali kepada Alquran serta taat kepada Tuhan yang kepada-Nya mereka akan dikembalikan.” (‘Ainah Kamalati Islam, hal. 486)


Iman Kepada Para Utusan Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa
Sehubungan dengan Rukun Iman keempat, Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengajarkan iman kepada semua Nabi dan Utusan Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Teristimewa ajaran keimanan kepada Sayyidina Nabi Besar Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya, beliau ‘Alaihis-salaam menyatakan dengan tegas sebagai berikut: “Tuhan telah berkehendak bahwa semua kesempurnaan yang dimiliki oleh para Nabi, semuanya terkumpul dalam wujud Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 326, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Seandainya Yang Mulia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak datang, maka bukan lagi kenabian, bukti akan adanya Tuhan pun tidak akan dapat dijumpai dalam keadaan demikian. Melalui ajaran beliaulah baru Tuhan itu dapat diketahui: Qul huwallaahu achad, Allaahush-shomad, Lamyalid walam yuulad, walam yakullahu kufuwan ahad. (Al-Ikhlas, 112 : 2-5)

Selanjutnya beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

لاَ اِلـاـهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ – آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَكُتُبِهِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ
“Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Utusan Allah—Kami beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, Surga, Neraka dan Kebangkitan sesudah mati.” (Anwarul-Islam, hal. 34)
وَاللهُ يَعْلَمُ اِنِّيْ عَاشِقُ اْلاِسْلاَمِ وَفِدَاءُ حَضْرَةِ خَيْرِ اْلاَنَامِ وَغُلاَمُ اَحْمَدَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan Allah mengetahui sesungguhnya aku adalah pecinta Islam, berkorban untuk Hadhrat Khairil-anaam Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan aku sebagai pelayan Ahmad Mushthafa Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Ainah Kamalati Islam, hal. 388)


Iman Kepada Hari Akhir
Sehubungan dengan Rukun Iman kelima, Hadhrat Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam bersabda, “Akhirnya, suatu hari dunia ini akan habis dan semuanya akan punah…. Itu betul. Dan, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dari sejak awal sudah merupakan Khaaliq (Pencipta) terus-menerus. Namun, Keesaan-Nya pun menuntut supaya Dia di suatu saat menghabiskan semuanya ini. Kullu man ‘alaiha faan. (Ar-Rahman, 55 : 27). Segala sesuatu yang ada di atasnya, akan menjadi punah. Kita tidak dapat mengatakan kapan waktu itu akan tiba. Namun, waktu yang demikian pasti akan datang.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 193, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Hendaknya diketahui bahwa alam Akhirat pada hakikatnya merupakan sebuah refleksi alam dunia. Dan, segala sesuatu di dunia yang tampil secara rohani sebagai iman dan dampak keimanan, serta kufur dan dampak kekufuran, akan tampil di alam Akhirat secara nyata. Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: ‘Wa man kaana fii haadzihii a’maa fahuwa fil-aakhirati a’maa'. (Bani Israil, 17 : 73) Yakni, siapa yang buta di dunia ini, dia juga akan buta di Akhirat.’” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 61-62, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Kemudian, mengenai anugerah di Surga, dalam kaitannya dengan orang-orang saleh, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: Yufajjiruunahaa tafjiiraa—yang memancarkannya dengan sebaik-baiknya. (Al-Insan, 76 : 7) Yakni, dari tempat itu memancar dan mengalir sungai-sungai. Kemudian di tempat lain dalam rangka menguraikan ganjaran bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang beramal saleh, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: Jannaatin tajrii min tachtihal-anhaar—Kebun Surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. (Al-Baqarah, 2 : 25)” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 155-156, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Hendaknya dimengerti, apakah Neraka itu? Neraka yang satu adalah yang akan diperoleh sesudah manusia mati sebagaimana janji Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, sedangkan yang satu lagi adalah kehidupan ini, jika tidak untuk Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa; maka itu adalah Neraka juga.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 101, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Iman kepada Taqdir Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa
Akhirnya sehubungan dengan Rukun Iman keenam, Hadhrat Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam bersabda, “Orang-orang melontarkan kritikan mengenai ini, yakni mengapa taqdir itu terdiri dari dua bagian? Maka jawabnya adalah, pengalaman memberi kesaksian akan hal itu, yakni kadang-kadang tampil dalam bentuk-bentuk yang sangat berbahaya dan manusia benar-benar jadi putus asa. Namun, melalui doa dan sedekah serta pengorbanan, akhirnya bentuk-bentuk bahaya tersebut jadi hilang. Jadi, akhirnya terpaksa diakui bahwa jika taqdir muallaq (taqdir yang masih dapat berubah) itu tidak ada, dan segala sesuatu yang berlaku hanyalah taqdir mubram (taqdir yang tidak dapat berubah), maka mengapa bisa terjadi penolakan bala? Dan kalau demikian berarti, doa serta sedekah dan sebagainya itu tidak ada artinya sedikitpun?
Beberapa iradah Ilahi hanya dengan maksud agar tumbuh rasa khawatir pada manusia sampai batas tertentu. Lalu jika ia memberikan sedekah dan pengorbanan, maka rasa khawatirnya itu dihilangkan. Permisalan pengaruh doa adalah seperti unsur laki-laki dan perempuan. Jika syarat terpenuhi dan diperoleh waktu yang tepat serta tidak ada kekurangan apapun, maka sesuatu masalah akan terhindarkan. Dan apabila yang berlaku taqdir mubram, maka tidak timbul sarana-sarana pengabulan doa. Hati memang menginginkan doa, akan tetapi perhatian tidak dapat terpusat sepenuhnya dan dalam hati tidak muncul rasa perih dan sedih. Shalat, sujud dan lain-lain yang dilakukannya tidak terasa nikmat; yang darinya dapat diketahui bahwa itu bukan akhir yang baik dan merupakan taqdir mubram.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 87-88, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
DARI semua kutipan di atas, jelas sekali bahwa Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah—Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam mengimani dan mengajarkan Rukun Iman sebagaimana yang telah diajarkan Sayyidina Nabi Besar Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ ْلإِيْمَانُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِه وَكُتُبِه وَرُسُلِه وَتُؤْمِنَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْمِيْزَانِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِه وَشَرِّه
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada Surga, Neraka, Mizan; dan engkau beriman kepada Kebangkitan sesudah mati; dan engkau beriman kepada Taqdir, baiknya dan buruknya.” (HR Al-Baihaqi dalam “Syi’abil-Iman”, An-Nasai, Ath-Thabrani dalam “Al-Kabir”—dari Umar radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz I/1)

Ahmadiyah tidak mengangkat Pendirinya sebagai Nabi, tetapi Allah Yang mengangkatnya sebagai Rasul dan Nabi Ummati yang tidak membawa syariat, kemudian beliau mengumumkan itu kepada umat. Bahkan tugasnya semata-mata untuk menghidupkan Agama Islam dan menegakkan syariatnya. Di antara pengakuan beliau sbb:

Dan kapanpun, atau di manapun aku telah mengingkari panggilan Nabi atau Rasul, maka maknanya tiada lain hanyalah bahwa aku bukanlah Nabi atau Rasul yang mustaqill; membawa syariat baru dan menjadi Nabi yang berdiri sendiri, tetapi dengan makna bahwa aku ini menerima karunia-karunia keruhanian dari Rasulullah saw, karena aku menaati beliau saw serta dianugerahi nama dari yang mulia saw, maka karena itu aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah Ta’ala. Dengan demikian memang aku adalah Rasul dan Nabi, tetapi tidak membawa syariat baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari, malah dengan makna inilah Allah Ta’ala selalu memanggilku Nabi dan Rasul.(Ek Ghalti Ka Izalah)

Kerasulan dan kenabian demikian ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُّسُلِه مَنْ يَّشَآءُ فَأمِنُوْا بِاللهِ وَرُسُلِه وَإِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
Dan Allah tidak memberitahukan kabar-kabar gaib kepada kalian, tetapi Dia akan memilih Rasul-rasul dari orang-orang yang Dia kehendaki. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Jika kalian percaya dan bertaqwa, maka bagi kalian pahala yang besar (Ali Imran, 3:180)

Ayat Alquran ini menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa Allah Ta‘ala akan memilih para Rasul yang dikehendaki-Nya dari kalangan umat Islam sendiri. Namun kenabian yang masih terbuka kedatangannya hanyalah kenabian ummati, yaitu kenabian yang disebabkan mengikuti Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna, sebagaimana Allah Ta‘ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا. ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا
Dan siapa saja ta‘at kepada Allah dan Rasul itu Muhammad shallallahu ‘alaihis salam, maka mereka itulah yang termasuk orang-orang yang telah dikaruniai kenikmatan oleh Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiq, para Syahid dan para Shaleh. Mereka itu adalah sebaik-baik kawan. Itulah karunia Allah. Dan cukuplah Allah, Yang Maha mengetahui (An-Nisa, 4:69-70)

Menurut ayat Alquran di atas, Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul Allah yang Muthaa‘, yaitu Rasul yang wajib dita‘ati, sedang orang yang dipilih sebagai Nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran ia telah mena‘ati Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut Nabi Muthii‘, yaitu Nabi yang mengikuti Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kenabian Muthii‘ itu terkait dengan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena itu ia disebut Nabi Ghairu Mustaqill, karena terpilihnya dia sebagai Nabi lantaran sebelumnya telah menjadi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu dengan keta‘atan yang penuh, sedang Syari‘at yang diikutinya adalah Syari‘at Nabi Muthaa‘. Oleh karena itu ia disebut juga dengan istilah Nabi Ghairu Tasyri‘. Jadi seorang Muthii‘ sempurna yang dipilih sebagai Nabi oleh Allah Ta‘ala dinamakan Nabi Ghairu Tasyri‘ wa Ghairu Mustaqill. Jadi terbukanya pintu Kenabian Ghairu Tasyri' wa Ghairu Mustaqill bagi umat Muhammad saw adalah satu-satunya keistimewaan yang hanya dikaruniakan kepada beliau saw, tidak pernah dan tidak akan diberikan kepada Nabi dan Rasul yang lain. Karena para Nabi atau Rasul yang diutus sebelum beliau saw hanya dijanjikan dapat melahirkan pengikut pada derajat Shiddiq dan Syahid saja, sebagaimana firman Allah Ta'ala berikut:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya, mereka adalah orang-orang Shiddiq dan para Syahid di sisi Tuhan mereka. Mereka akan memperoleh ganjaran mereka sepenuhnya dan cahaya mereka (Al-Hadid, 57:20)

Sehubungan dengan terbukanya pintu Kenabian Ghairu Tasyri‘ wa Ghairu Mustaqill bagi umat Islam ini, Allah Ta‘ala memerintahkan kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengumumkan kepada umatnya sebagai berikut:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah: Jika kalian cinta kepada Allah, ikutilah aku; Allah akan mencintai kalian dan melindungi kalian dari dosa. Dan Allah itu Yang Maha-pengampun, Yang Maha-pengasih (Ali Imran, 3:32)

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa jika orang Islam ingin dicintai Allah Ta‘ala seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya‘kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi Isa dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya ia mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak dapat menjadi Nabi seperti mereka, hendaknya ia menjadi Shiddiq atau Syahid atau Shalih. Jadi, pengikut Islam yang sebenarnya itu adalah para Nabi, para Shiddiq, para Syahid atau para Shalih, karena hanya golongan inilah yang dikaruniai kenikmatan oleh Allah Ta‘ala, mereka tidak dimurkai dan tidak sesat, sebagaimana permohonan setiap orang Islam ketika membaca surat Al-Fatihah yang diwajibkan dalam setiap rakaat dalam shalatnya.

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ
Pimpinlah kami pada jalan yang benar; jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, bukan jalan orang-orang yang terkena murka, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (Al-Fatihah, 1: 6-7)

Para Nabi seperti Ibrahim, Luth, Ishaq, dan Ya‘kub disebut oleh Allah Ta‘ala sebagai para Imam Mahdi (21:52-74), karena mereka itu mendapat tugas untuk memimpin umatnya pada jalan yang benar. Jadi, Imam Mahdi itu julukan lain bagi seorang Nabi. Allah Ta‘ala berfirman dalam Alquran berikut ini:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَّهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ ....
Dan mereka para Nabi Kami jadikan para pemimpin (Imam) yang yang memberi petunjuk (memimpin) umat dengan perintah Kami; dan Kami wahyukan kepada mereka supaya berbuat baik …. (Al-Anbiya, 21:74)

Guna menghilangkan kesalah-fahaman sebagian kaum muslimin terhadap Ahmadiyah tentang tafsir ayat Khaataman-Nabiyyiin, maka di bawah ini perlu dipaparkan Tafsir tersebut dengan rinci:

TAFSIR AYAT KHAATAMAN NABIYYIIN

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara laki-laki dewasa kalian, tetapi merupakan Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyiin” (Al-Ahzab, 33:41)
Tidak menjadi bapak bagi seorang laki-laki dewasa, bukanlah suatu dalil bahwa seseorang itu bukan Nabi. Jika Alquran telah memaparkan dalil ini bahwa seseorang yang bukan bapak bagi seorang laki-laki dewasa tidak dapat menjadi Nabi, atau seperti itu aqidah yang dianut oleh beberapa umat sebelum Alquran, maka kami mengatakan bahwa di dalam Alquran telah diterangkan pengecualian aqidah itu, atau telah dilakukan penolakan terhadap akidah tersebut. Akan tetapi, ini bukanlah akidah umat tertentu, bahwa jika seseorang bukan merupakan bapak bagi seorang laki-laki berarti dia tidak dapat menjadi Nabi. Umat Islam dan Kristen mengakui kenabian Yahya as. Dan orang Yahudi mengakui kesucian beliau. Namun, tidak ada yang mengakui bahwa beliau mempunyai anak. Sebab, Yahya as kawinpun tidak.

Jadi, apa artinya ayat ini, bahwa Muhammad saw bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara laki-laki dewasa kalian, tetapi beliau seorang Nabi atau Rasul Allah. Pasti ada landasan penyebab bagi kalimat ini. Lalu inipun hendaknya dipikirkan bahwa seseorang yang mengenainya orang-orang telah keliru mengatakan bahwa dia (Zaid ra) adalah anak angkat Rasulullah saw, setelah pernyataan ayat ini berarti dia bukan lagi anak angkat beliau. Hal itu apa kaitannya dengan kenabian Muhammad Rasulullah saw? Kemudian apa hubungan hal itu dengan Khaatamun-Nubuwat beliau saw? Apakah kalau Zaid ra tidak menceraikan istrinya dan Muhammad Rasulullah saw tidak menikahi mantan istri Zaid ra tersebut maka masalah Khaataman-Nubuwat akan tetap terselubung? Apakah masalah yang besar itu begitu saja diuraikan secara sambilan?

Selain itu, sebagaimana telah kami tuliskan di atas, setatus seseorang sebagai bapak atau tidak sebagai bapak bagi seseorang laki-laki, tidak ada hubungannya dengan kenabian. Oleh karena itu, kita hendaknya menelaah Alquran, apakah ditempat lain ada diterangkan bahwa jika tidak terbukti sebagai bapak bagi laki-laki dewasa maka kata (tersebut) jadi diragukan. Sebab kata “Laakin” di dalam bahasa Arab dan kata yang semakna dengan itu pada setiap bahasa di dunia ini, digunakan untuk menjauhkan keraguan.

Guna memecahkan persoalan ini kami melihat Alquran dan tampak dengan jelas tertulis :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau Kautsar. Oleh sebab itu beribadahlah kepada Allah Ta’ala, Tuhanmu dan persembahkanlah pengorbanan-pengorbanan. Sesungguhnya musuh engkaulah yang akan tanpa anak keturunan (Al-Kautsar, 108: 1-3)

Ayat ini turun pada masa kehidupan Muhammad, Rasulullah saw di Mekah. Di dalamnya terdapat sanggahan yang ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekah yang mencela beliau ketika putra beliau wafat. Mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai anak laki-laki, kalau tidak sekarang, maka besuk pastilah silsilahnya akan habis (Al-Bahru-Al-Muhith).

Setelah surah ini turun, orang-orang Islam berpendapat bahwa Rasulullah saw akan memperoleh anak laki-laki dan anak itu akan hidup. Namun yang terjadi adalah, anak laki-laki beliau tidak hidup seperti yang mereka duga. Musuh-musuh yang disebut “Huwal Abtar” (tidak memiliki anak), justru anak laki-laki mereka tetap hidup. Anak Abu Jahal tetap hidup. Anak ‘Ash tetap hidup. Anak Walid tetap hidup (Walaupun dikemudian hari anak-anak mereka masuk Islam dan sebagian masuk dalam kelompok sahabat ternama). Ketika terjadi peristiwa Zaid ra dan timbul keraguan dalam hati orang-orang, yakni Rasulullah saw telah menikahi istri yang diceraikan oleh Zaid ra yang merupakan anak angkat beliau saw; dan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab menikahi menantu tidaklah dibenarkan- Maka Allah swt berfirman bahwa, “Kalian menganggap Zaid sebagai putra Muhammad saw, itu adalah salah. Muhammad Rasulullah saw bukanlah bapak bagi seorang laki-laki dewasa manapun”. Dan kata “Maa Kaana” di dalam bahasa Arab tidak hanya berarti bahwa beliau bukan bapak pada masa itu, melainkan juga bermakna bahwa di masa mendatang pun beliau bukan merupakan bapak (bagi laki-laki manapun). Sebagaimana difirmankan dalam Alquran:
وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
Yakni, Allah itu Maha-kuasa dan Maha-bijaksana, dahulu, sekarang dan di masa datang (Al-Nisa, 4:159).

Dari pengumuman itu, secara alamiyah timbul sebuah keraguan lain di dalam hati orang-orang. Yakni, di Mekah telah diumumkan melalui surat Al-Kautsar bahwa para musuh Muhammad saw akan luput dari anak keturunan laki-laki, sedangkan Rasulullah saw tidak demikian. Namun, setelah beberapa tahun diumumkan pula di Madinah bahwa Muhammad Rasulullah saw saat itu maupun dimasa mendatang bukanlah bapak bagi salah seorang laki-laki dewasa. Artinya adalah, nubuwatan surat Al-Kautsar itu na‘uudzu billah terbukti tidak benar dan kenabian Muhammad saw jadi diragukan.

Sebagai jawabannya Allah Ta‘ala berfirman: “Walaakin Rasuulallaahi wa Khaataman Nabiyyiin”. Yakni, dari pengumuman tadi telah timbul keraguan di hati orang-orang bahwa pengumuman itu membuktikan na‘udzu billah kedustaan Muhammad saw. Namun mengambil kesimpulan demikian itu adalah salah. Walau ada pengumuman demikian, Muhammad saw merupakan Rasul Allah, bahkan Khaataman Nabiyyiin, yakni stempel/segel Nabi-nabi. Beliau merupakan perhiasan keindahan bagi nabi-nabi terdahulu dan di masa mendatang tidak akan ada orang yang dapat menempati kedudukan sebagai Nabi selama padanya belum tertera stempel Muhammad saw. Orang demikian itu akan merupakan putra ruhani beliau saw. Di satu sisi dengan lahirnya putra-putra ruhani seperti itu dari umat Muhammad saw dan di sisi lain dengan masuknya putra-putra para pembesar Mekah ke dalam Islam, hal ini menjadi bukti bahwa segala sesuatu yang diberitahukan di dalam surat Al Kautsar tersebut adalah benar. Putra-putra Abu Jahal, Al ‘Ash, dan Walid akan habis. Maksudnya, putra-putra mereka itu dengan sendirinya menggabungkan diri dengan Muhammad Rasulullah saw. Dan putra-putra ruhani beliau saw senantiasa akan terus berlangsung. Dan sampai hari Qiamat, orang-orang dari antara putra-putra ruhani itu akan selalu menempati kedudukan yang tidak pernah dapat diduduki oleh seorang perempuan, yakni kedudukan kenabian, yang hanya khusus bagi laki-laki.

Jadi, dengan menghubungkan surat Al-Kautsar dengan surat Al-Ahzab tidak bisa ada arti lain kecuali makna-makna tersebut. Jika Khataman Nabiyyiin itu diartikan bahwa Muhammad saw bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara laki-laki dewasa di antara kalian, tetapi beliau adalah Rasul Allah dan untuk di masa mendatang sesudah beliau tidak dapat datang lagi Nabi, maka ayat ini sama sekali tidak mengandung arti apapun. Dan tidak ada hubungannya sedikitpun dengan untaian permasalahan. Dan kecaman orang-orang kafir yang disinggung dalam surat Al-Kautsar menjadi dapat pengukuhan.


Tafsir Ayat Khaataman Nabiyyiin berdasarkan ayat-ayat Alquran
Alquran adalah satu kitab yang sempurna. Salah satu keajaibannya ialah Alquran tidak hanya di satu tempat saja memaparkan Khaataman-Nabiyyiin, melainkan juga telah menguraikan penafsiran tentang hal itu di sejumlah ayat Alquran lainnya. Dalam kaitan itu kami paparkan beberapa ayat Alquran berikut ini:
Pertama: Di dalam surat Al-Hajj Allah swt berfirman:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Allah [senantiasa] memilih Rasul-rasul-Nya dari dari antara malaikat-malaikat dan dari antara manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (Al-Hajj, 22:76).

Sebelum ayat ini, yang disinggung adalah orang-orang yang menjadi sasaran pembicaraan Rasulullah saw, bukan mengenai orang-orang sebelum beliau. Dan arti ayat ini ialah, Allah memilih dan akan terus memilih (istimraar) dari antara malaikat-malaikat dan manusia-manusia sebagai Rasul. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dari ayat ini tampil dengan jelas bahwa di zaman Rasulullah saw, yakni di zaman kenabian beliau saw terdapat manusia-manusia lain yang memperoleh nama Rasul dari Allah swt.

Kedua: Di dalam surat Al-Fatihah Allah swt telah mengajarkan doa kepada orang-orang Islam:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukilah kami jalan lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat atas mereka” (Al-Fatihah, 1:6-7).

Doa ini wajib dibaca oleh orang-orang Islam dalam shalat 5 waktu sehari-semalam dan pada waktu shalat nafal juga. Sekarang pertanyaannya ialah, apa jalan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat itu?. Alquran sendiri telah menjelaskannya:
وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan lurus” (Al-Nisa, 4: 69).

Seandainya orang-orang Islam mengamalkan keputusan-keputusan Rasulullah saw dan dengan senang hati mengikutinya, maka Kami akan menunjuki mereka jalan lurus.

Kemudian Alquran menjelaskan cara memperoleh petunjuk ke jalan itu:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا
“Dan barang siapa taat kepada Allah dan Muhammad Rasul itu, maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang kepada mereka Allah swt telah memberikan nikmat, yakni: Nabi-nabi, Shiddiq-shiddiq, syahid-syahid dan orang-orang shalih. Dan, mereka itulah sahabat yang terbaik. Inilah karunia dari Allah dan memadailah Allah sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui” (Al-Nisa, 4: 70-71)

Di dalam ayat ini dengan jelas telah diberitahukan bahwa jalan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat itu adalah jalan yang apabila ditempuh akan memasukkan manusia ke kalangan para Nabi, Shiddiq, Syahid dan Shalih.

Sebagian orang mengatakan bahwa kata ma‘a di situ berarti bahwa orang-orang itu akan bersama kelompok orang-orang yang telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak termasuk di dalam kelompok itu. Padahal ayat tersebut tidak dapat diartikan demikian. Sebab, dalam bentuk demikian artinya adalah orang-orang itu akan bersama kelompok orang yang telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak akan termasuk ke dalam kelompok tersebut. Yakni, mereka akan bersama Nabi-nabi, tetapi tidak akan termasuk di kalangan Nabi-nabi. Mereka akan bersama para shiddiq, tetapi tidak akan termasuk dikalangan para shiddiq. Mereka akan bersama para syuhada, tetapi tidak akan termasuk dikalangan para shahid. Dan mereka akan bersama para shalih, tetapi tidak akan termasuk dikalangan orang-orang shalih. Berdasarkan arti tersebut, umat Islam tidak hanya luput atau mahrum dari kenabian, tetapi juga telah luput dari pangkat shiddiq. Dan apa yang telah dikatakan Rasulullah saw bahwa Abu Bakar adalah Shiddiq, na‘udzubillah, ternyata salah. Dan umat Islam juga telah luput dari derajat Syahid. Dan di dalam Alquranul-Karim dimana Allah swt telah menyatakan para sahabat berada pada derajat Syuhada, ternyata juga salah.

شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Sebagai Syahid/saksi atas manusia (Al-Baqarah, 2: 144)

Dan dikalangan para shalih tidak akan ada yang masuk satu orangpun dari umat ini. Dan pendapat yang mengatakan bahwa di dalam umat Islam telah berlalu banyak sekali orang shalih, maka pendapat itu sama sekali salah. Na‘udzu billah.

Apakah ada orang berakal yang menguasai Alquran dan Hadits dapat menerima arti-arti tersebut? Kata ma‘a tidak berarti bersama, tetapi juga berarti termasuk. Di dalam Alquranul-Karim telah diajarkan doa ini kepada orang-orang mukmin:

وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Wafatkanlah kami bersama orang-orang baik” (Ali Imran:193).

Setiap muslim mengartikannya: “Wahai Allah, wafatkanlah aku dalam kondisi termasuk di kalangan orang-orang shalih”. Tidak pernah diartikan bahwa “ya Allah pada saat seorang shalih wafat, maka pada saat itu juga wafatkanlah aku bersamanya”. Demikian pula tertera dalam Alquranul-Karim dikatakan:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya orang-orang munafik berada di lapisan paling bawah dalam api, dan engkau tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada Allah, serta mereka ikhlas dalam pengabdian mereka kepada Allah. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan Allah segera akan memberi ganjaran besar kepada orang-orang mukmin (Al-Nisa: 146-147).

Di sini terdapat kata-kata “ma‘al-mukminiin”. Namun kata ma‘a di sini diartikan sebagai min. Demikian pula tertera di dalam surat Al-Hijr: 32.

يَاإِبْلِيسُ مَا لَكَ أَلَّا تَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ
“Hai Iblis, apa yang telah terjadi padamu. Mengapa engkau tidak bersama orang-orang yang bersujud? (Al-Hijr, 15:33)

Namun, di dalam surat Al-A‘raf difirmankan dengan kata 'Min'.
فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ
“Lalu mereka bersujud, kecuali Iblis, ia tidak termasuk orang-orang yang bersujud" (Al-A‘raf, 7: 11).

Jadi, di dalam Alquran sendiri kata ma‘a terkadang digunakan dalam arti min. Dalam kitab Mufradat Alquran karya Imam Raghib, tertulis:
وَ قَوْلُه فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ أَيْ اِجْعَلْنَا فِى زُمْرَتِهِمْ إِشَارَةً إِلَى قَوْلِه فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Yakni, di dalam ayat “Faktubnaa ma‘asy Syaahidiin” kata ma‘a itu berarti masukkanlah kami ke dalam golongan para syahid.” Sebagaimana di dalam ayat “Faulaaika ma‘alladziina an‘amallaahu ‘alaihim” kata ma‘a berarti bahwa orang-orang yang taat kepada Rasulullah saw akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat (lihat Mufradat, Al-Raghib halaman 435 di bawah kata Kataba).

Lebih lanjut, tentang penjelasan terhadap tulisan Imam Raghib tersebut di dalam Tafsir Bahrul-Muhith dikatakan:
قَالَ الرَّاغِبُ مِمَّنْ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ الْفِرَقِ اْلاَرْبَعِ فِى الْمَنْزِلَةِ وَالثَّوَابِ النَّبِيِّ بِالنَّبِيِّ وَالصِِّدِّيقَ بِالصِّدِّيقِ وَالشَّهِيدَ بِالشَّهِيدِ وَالصَّالِحَ بِالصَّالِحِ
yakni, menurut Imam Raghib arti ayat ini ialah orang-orang yang taat kepada Rasulullah saw dari segi kedudukan dan derajat akan dimasukkan ke dalam kalangan para Nabi, shiddiq, syuhada dan shalih. Yakni, Nabi ummat ini dengan Nabi, Shiddiq dengan shiddiq, syahid dengan shahid dan shalih dengan shalih (Tafsir Bahrul-Muhith, jilid III, halaman 387).


Ketiga: Demikian pula, dengan menyinggung tentang orang-orang Islam, Allah swt telah berfirman dalam Alquran:
يَابَنِي ءَادَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul dari antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa bertaqwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka tentang apa yang akan datang dan tidak pula mereka akan berduka cita tentang apa yang sudah lampau” (Al-A‘raf, 7: 36)
.
Dalam ayat ini jelas dikatakan bahwa di kalangan umat Islam Rasul-rasul akan senantiasa datang. Demikian pula di dalam Alquranul-Karim Allah berfirman:
وَإِذَا الرُّسُلُ أُقِّتَتْ
“Dan apabila Rasul-rasul didatangkan pada waktu yang ditetapkan (Al-Mursalat, 77: 11).

Yakni, di akhir zaman Allah swt akan kembali menzhahirkan segenab Rasul dalam corak buruzi /bayangan. Orang-orang Syi‘ah mengambil dalil dari situ bahwa di zaman Imam Mahdi segenap Rasul akan didatangkan dan mereka akan mengikutinya.

Di dalam Tafsir Qummi tertulis:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا مِنْ لَدُنْ آدَمَ اِلاَّ وَيَرْجِعُ اِلَى الدُّنْيَا فَيَنْصُرُ اَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Sekian banyak Nabi yang telah Allah swt kirimkan sejak Adam sampai akhir, kesemuanya akan datang kembali ke dunia dan akan menolong Amirul-Mukminin, Al-Mahdi (Tafsir Qummi, halaman 23)


Dari ini terbukti bahwa menurut orang-orang Syi‘ah sesudah Rasul Muhammad saw segenap Rasul akan datang, tetapi tetap saja Khataman Nubuwwah beliau saw tidak akan terputus.

Ringkasnya, beberapa ayat telah dituliskan sebagai contoh dari ayat-ayat Alquran. Dari ayat-ayat itu terbukti bahwa di dalam umat Islam Nabi ummati dapat datang, dalam corak penghambaan dan pengabdian kepada Muhammad Rasulullah saw serta untuk menyebarkan agama beliau saw. Dan hal itu merupakan dalil yang abadi serta telak yang membuktikan bahwa Rasulullah saw adalah seorang Nabi yang hidup, bahwa Alquran adalah Kitab yang hidup dan bahwa Islam adalah Agama yang hidup.
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Khaataman-Nabiyyiin Menurut Lughat Arab
Dari aspek lughat, makna-makna hakiki dan majazi/non hakiki kata Khaatam yang lazim digunakan dalam bahasa Arab diyakini kebenarannya oleh Jemaat Ahmadiyah untuk menafsirkan ayat Khaataman Nabiyyiin. Di antara makna itu ialah:

Nabi Terakhir
Berdasarkan ayat-ayat Alquran dan Hadits-hadits Nabawi, kedudukan yang mulia Muhammad Al-Mushthafa saw sebagai Khaataman Nabiyyin, adalah terbukti dengan jelas bahwa beliau saw adalah yang terakhir di antara para Nabi pembawa syariat. Syariat beliau saw senantiasa tegak dan abadi, tidak akan pernah mansukh. Makna Khaataman Nabiiyyiin seperti ini diakui dan disepakati dikalangan sejumlah Firqah. Jemaat Ahmadiyah juga mengimani makna-makna itu. Menyinggung tentang kedudukan Khataman Nubuwat, Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Hafizh Mirza Nasir Ahmad mengatakan:

“Yang Mulia Muhammad Rasulullah saw adalah satu-satunya dalam kedudukan Muhammadiyyat beliau. Selain beliau saw tidak ada orang lain yang memperoleh kedudukan itu. Beliau saw adalah Khataman-Nabiyyin. Dan dari segi pengangkatan /ketinggian ruhani, beliau saw adalah Nabi terakhir. Beliau saw telah menjadi Nabi Terakhir sejak saat Adam a.s belum menjadi Nabi dan bahkan sebelum beliau dianugerahi wujud jasmani ini.

Ringkasnya, segenap kenabian telah diraih di bawah Kenabian Muhammad saw. Sebab, demi kenabian itulah dan demi kedudukan Muhammadiyat itulah Allah swt telah menciptakan seluruh jagat raya ini. Oleh karena itu, walaupun Ibrahim a.s telah diangkat secara ruhani mencapai langit ketujuh, hal itu tidak bertentangan dengan Khatamun-Nubuwwat. Demikian pula walaupun Adam a.s telah diangkat secara ruhani mencapai langit pertama, hal itu tidak menimbulkan kerusakan pada Khatamun Nubuwwat. Rasulullah saw sampai mengatakan bahwa putra –putra ruhani beliau, yakni Ulama-ulama sejati yang memperoleh ilmu-ilmu Alquran dari beliau lalu menjaga Syariat Alquran agar tetap hidup dan berkilauan dan mereka akan senantiasa datang di setiap abad, mereka pun akan seperti para Nabi itu. Yakni para Nabi yang diantaranya ada yang telah mencapai Langit pertama, ada yang di Langit kedua, ada yang di Langit ketiga, ada yang di Langit keempat, ada yang di Langit kelima, dan ada yang di Langit keenam. Dan ada satu yang akan lahir, yaitu yang setelah menempuh seluruh tahab penghambaan dan kecintaan yang mendalam, serta karena memperoleh kedudukan-kedudukan kecintaan sangat tinggi, dia akan mencapai Langit ketujuh di sisi Ibrahim as dan akan memperoleh tempat di telapak kaki yang Mulia Nabi Muhammad saw. Sebagaimana pengangkatan Ibrahim as secara ruhani ke Langit ketujuh tidak menentang Khatamun Nubuwwat, demikian pula pengangkatan secara ruhani hingga ke Langit ke tujuh terhadap putra ruhani agung Nabi Muhammad saw tidaklah menimbulkan cela/kerusakan pada kedudukan Muhammadiyyat yang dimiliki Rasulullah saw.

Gambaran yang kedua, hakikat mi‘raj mengajarkan kepada kita bahwa pengangkatan-pengangkatan seseorang secara ruhani hingga ke Langit ketujuh tidak menimbulkan cela/kerusakan apapun pada kedudukan Khatamun Nubbuwwat. Sebab, kedudukan Khaatamun Nubuwwat ini adalah lebih tinggi dari kedudukan tersebut. Dan telah diperintahkan kepada kita agar berusaha sesuai kemampuan kita masing-masing untuk meraih pengangkatan pengangkatan secara ruhani. Dan kepada kita telah diberikan kabar suka bahwa di dalam ummat Islam akan lahir seorang putra perkasa Rasulullah saw yang akan mencapai Langit ke tujuh dan kedudukannya berada di telapak Muhammad Rasulullah saw (Al Fadhl, 17 April 1973).

Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dalam buku beliau Izalah Auham menuliskan:

“Junjungan kita Rasulullah saw telah mencapai kedudukan paling tinggi di Langit, yang sesudahnya tidak ada lagi kedudukan lain. Berada di Sidratul-Muntaha di sisi Sang Rafiqul-A‘la. Dan salam serta salawat umat senantiasa dipanjatkan ke hadapan Rasulullah saw.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَكْثَرَ مِمَّا صَلَّيْتَ عَلَى اَحَدٍ مِنْ اَنْبِيَائِكَ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ


Pemimpin Nabi--nabi
Kenabian adalah suatu kedudukan ruhani. Nabi adalah seorang yang memiliki martabat/derajat. Khaatam di kalangan wujud yang memiliki kedudukan dan martabat adalah dia yang meraih derajat paling akhir dalam kedudukan tersebut.
Sebagai bukti akan hakikat tersebut, di bawah ini dituliskan 40 contoh penggunaan istilah Khaatam dalam makna demikian, di anak benua India dan Pakistan, serta di negeri Arab:

1. Penyair Abu Tamam (188-231 H/804-845 M) dijuluki Khaatamusy Syu’ara (Wafiayatul A’yan, jld 1).
2. Abu Thayyib (303-354H/915-965M) dijuluki Khaatamus Syu’ara (Muqaddimah Diwan Al-Mutanabbi, Mesir, halaman “ya”)
3. Abul ‘Alaa Al Ma‘arra (363-449H/973-1057M) dijuluki sebagai Khaatamus Syu’ara (Muqaddimah Diwan Al-Mutanabbi, Mesir, catatan kaki halaman “ya”.
4. Syekh Ali Hazin (1113-1180H/1701-1767M) diakui di India sebagai Khaatamusy Syu’ara (Hayat e Sa’adi, h 117)
5. Habib Syerazi diakui sebagai Khaatamusy Syu’ara di Iran (Hayat e Sa’adi, h. 87).
6. Sayyidina Ali ra merupakan Khaatamul Awliyaa (Tafsir Shaafi, surat Al-Ahzab).
7. Imam Syafi’I (150-204H/767-820M) merupakan Khaatamul Awliyaa (Al-Tuhfah, Al-Sunniyyah, h. 45).
8. Syekh Ibnu Arabi (560-638H/1164-1240M) merupakan Khaatamul Awliyaa (Futuhaat Makiyyah, lembar judul).
9. Kafur dijuluki Khaatamul Karaam (Syarah Diwan Al-Mutanabbi, h. 304).

10. Imam Muhammad Abduh Mishri dijuluki Khaatamul Aimmah (Tafsir Al-Fatihah h. 148).
11. Sayyid Ahmad Al-Sanusi dijuluki Khaatamul-Mujaahidiin (Surat Kabar Al-Jami’atul Islamiyah, Palistina, 27 Muharram 1352H).
12. Ahmad bin Idris dijuluki Khaatimatul Ulamaa Al-Muhaqqiqiin (Al-Uqd Al-Nafis).
13. Abul Fadhl Al-Alusi dijuluki Khaatamul-Muhaqqiqiin (Tafsir Ruhul-Ma’aani, lembar judul).
14. Syekh Al-Azhar Salim Al-Bashri dijuluki Khaatamul-Muhaqqiqiin (Al-Harab, h. 72)
15. Imam Suyuthi ( wafat 911 H/1505 M) dikatakan sebagai Khaatimatul-Muhaqqiqiin ( Tafsir Itqaan lembar judul).
16. Syah Waliullah Dhelwi disebut Khaatamul – Muhaddatsiin (‘Ijalah Naafi’ah)
17. Syekh Syamsuddin dijuluki Khaatimatul-Huffaazh (Al-Tajrid Al-Shariyh, Muqaddimah, h. 4)
18. Wali yang paling agung adalah Khaatamul-Awliyaa (Tadzkiratul-Awliyaa, h. 422)
19. Seorang wali yang mengalami kemajuan demi kemajuan dapat menjadi Khaatamul Awliyaa (Futuhul Ghaib, h. 43)
20. Syekh Najib diakui sebagai Khaatimatul-Fuqahaa (Surat Kabar Shiraathal-Mustaqiim, Yafa, 27 Rajab 1354H)
21. Syekh Rasyid Ridha dijuluki Khaatimatul Mufassirin ( Al-Jamiatul Islamiyyah, 9 Jumaditsani 1354 H).
22. Syekh Abul-Haq (958-1052 H/1551-1642 M) dijuluki Khaatimatul Fuqahaa (Tafsir Al-Aklil, lembar judul).
23. Muhammad Najib merupakan Khaatimatul-Muhaqqiqiin (Al-Islam Mishri, Sya’ban 1354 H)
24. Wali yang paling Afdhal Khaatamul Walayah (Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 271)
25. Syekh Abdul Aziz (1159-1236 H) merupakan Khaatamul-Muhadditsin wal-Muwassiriin (Hadiyatusy Syi’ah, h. 4)
26. Manusia merupakan Khaatamul-Makhluqaat Al-Jasmaniyah (Tasfsir Kabir, jld. 6, h.22, cetakan Mesir)
27. Syekh Muhammad bin Abdullah merupakan Khaatimatul-Huffazh (Ar-Rasail Al-Nadirah, h.30)
28. ‘Allamah Sa’addudiin Taftazani merupakan Khaatimatul-Muhaqqiqiin (Syarah Hadits Al-Arba’iin, h.1)
29. Ibnu Hajar Al-Asqalani merupakan Khaatamul-Huffazh (Tabaqatul-Mudassiin, lembar judul)
30. Maulwi Muhammad Qasim (1148-1297 H) dijuluki Khaatamul-Mufassiriin (Israr Qur’aani, halaman judul).
31. Imam Suyuthi merupakan Khaatimatul-Muhadditsin (Hadiyatusy Syi’ah, h. 20).

32. Raja merupakan Khaatamul-Hukam (Hujatul-Islam, h. 35).
33. Nabi Isa merupakan Khaatamul-Ashfiyaa Al-Aimmah (Baqiyatul-Mutaqaddimiin, h. 184).
34. Ali merupakan Khaatamul-Awshiyaa (Minarul-Huda, h.109).
35. Syekh Ash-Shadduq dijuluki Khaatmul-Muhadditsiin (Kitab Man Laa Yahdaruhul-Faqiyh)
36. Abul-Fadhl Sahabul-Ulusi (773-854 H/1371-1450 M) disebut Khaatamul-Uddabaa (Ruhul-Ma’aani, halaman judul).
37. Penulis Ruhul-Ma’ani dmenjuluki Syekh Ibrahim Al-Kurani sebagai Khaatimatul-Muta’akhkhirrin (Tafsir Ruhul-Ma’ani, jld. 5, h. 453).
38. Maulwi Anwar Syekh Kasymiri disebut Khaatamul-Muhadditsiin (Kitab Rais Al-Ahrar, h. 99)
39. Maulana Haali menuliskan tentang Syekh Sa’adi:
“Menurut saya, sebagaimana penguraian tentang tangkisan dan serangan serta tentang peperangan dan pertempuran telah Khaatam atau berakhir pada Firdausi, demikian pula penguraian tentang akhlak, nasehat dan petunjuk, tentang cinta dan semangat muda, tentang lelucon dan kejenakaan, tentang zuhud dan riya dan sebagainya telah Khaatam / berakhir pada Syekh (Sa’adi).” (Hayat–e-Sa’adi, h. 108)
40. Maulwi Muhammad Qasim Nanutwi (1148-1297 H). Menuliskan:
“Jadi, seseorang yang di dalam dirinya sifat ini banyak tampil, yaitu Khaatamush-Shifaat, yakni sifat yang diatasnya tidak ada lagi sifat lain, yakni tidak ada sifat lebih tinggi lagi dari itu yang patut dianugerahkan kepada makhluk-makhluk, berarti orang itu di kalangan makhluk merupakan Khaatamul-Maraatib dan orang itu merupakan pemimpin semua pihak dan merupakan yang paling afdhal/mulia.” (Intisaarul-Islaam, h. 45).

Berdasarkan ungkapan para Ahli Bahasa tersebut, tampak jelas bahwa menurut orang-orang Arab dan para Ulama Muhaqqiqiin lainnya, bila saja seorang tokoh tertentu disebut Khaatamusy-Syu’araa, atau Khaatamul-Fuqahaa, atau Khaatamul-Muhadditsiin, atau Khaatamul-Mufassiriin, maka artinya adalah Penyair terbaik, Faqih paling besar, Muhaddits atau Mufassir yang memiliki derajat paling tinggi.

Semua makna Khaatamun-Nabiyyiin tersebut terdapat pada wujud yang Mulia Muhammad Al-Mushthafa saw. Pada diri beliau saw telah berakhir segenap potensi Kenabian dan Kerasulan. Tidak ada Nabi yang lebih besar atau yang menyamai beliau saw dan tidak ada yang mampu menandinginya. Beliau saw. merupakan Afdhalul-Anbiyaa (Nabi yang paling afdhal/unggul) dan Sayyidul-Mursaliin (Rasul paling mulia) dan beliau saw. merupakan himpunan potensi segenap Nabi. Para Ulama umat sepakat dengan makna-makna Khaatamun-Nabiyyiin demikian. Dan Jemaat Ahmadiyah juga mengakui makna Khaatamun-Nabiyyiin tersebut dari segala segi.
Pendiri Jamaah Ahmadiyah berkata:
“Adalah aqidah saya bahwa jika Rasulullah saw. diletakkan terpisah dan segenap Nabi yang telah berlalu hingga saat itu kesemuanya berkumpul lalu mereka ingin melakukan pekerjaan dan perbaikan yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw; maka mereka sama sekali tidak akan dapat melakukannya. Di dalam diri mereka tidak terdapat kalbu dan kekuatan seperti yang dimiliki Nabi kita saw. Jika ada yang mengatakan (pernyataan) ini merupakan – Ma’adzallah- suatu ketidaksopanan terhadap para Nabi itu, berarti orang bodoh itu melontarkan kedustaan terhadap diri saya. Saya menganggap sikap para Nabi sebagai bagian Keimanan saya. Akan tetapi keunggulan Nabi Muhammad saw atas segenap Nabi lainnya, adalah suatu hal yang merupakan bagian terbesar keimanan saya dan telah bercampur dalam urat nadi darah saya. Ini bukanlah ikhtiar saya untuk mengeluarkannya.” (Al-Hakam, 17 Januari 1901 M.)

Yang Menutup / Mengakhiri Para nabi
Jika diartikan sebagai seorang “Yang menutup/mengakhiri para Nabi”, maka perlu disimak, dalam bentuk apa Rasulullah saw telah menutup atau mengakhiri para Nabi. Masalahnya bukanlah beliau menutup atau mengakhiri kehidupan jasmani atau lahiriyah. Segenap Nabi itu memang sudah wafat sejak sebelumnya. Ada satu Nabi yang dianggap masih hidup, bernama Isa as, beliau dinyatakan masih hidup setelah yang Mulia Khaatamun-Nabiyyiin saw. selebihnya, menutup atau mengakhiri secara makna, adalah benar. Yakni, yang Mulia Muhammad, Khaatamun-Nabiyyiin telah menutup atau mengakhiri segenap Nabi dari segi potensi atau kemampuan-kemampuan. Yakni, beliau saw merupakan yang paling sempurna, paling tinggi dan paling Mulia dari sekalian Nabi. Kelebihan beliau saw adalah tidak hanya Kenabian saja, melainkan segenap potensi ruhanipun telah berakhir pada beliau saw, sebagaimana pernyataan Pendiri Ahmadiyah:

“Sayyidina wa Maulaana Sayyidul-Kul wa Afdhalur-Rusul, yang Mulia Khaatamun-Nabiyyiin, Muhammad Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagi beliau terdapat kedudukan paling mulia dan derajat paling tinggi, yang telah berakhir pada Pribadi Pemilik Sifat-sifat Paling Sempurna itu. Tidak ada yang dapat mencapai kondisi beliau itu. Tidak ada yang mampu meraihnya.”

Stempel Nab—Nabi
Di dalam bahasa Arab, kata Khaatam berarti stempel. Jemaat Ahmadiyah juga meyakini Rasulullah saw sebagai stempel Nabi-nabi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah menuliskan dalam buku beliau Haqiqatul-Wahyi:

“Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah saw sebagai Pemilik Khaatam. Yakni, kepada beliau telah diberikan stempel untuk menyampaikan karunia/berkat sempurna, yang sama sekali tidak diberikan kepada Nabi lainnya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. telah dinamakan Khaatamun-Nabiyyiin. Yakni, upaya mengikuti beliau saw akan menganugerahkan Potensi-potensi Kenabian dan sorotan rohani beliau dapat membentuk Nabi. Dan Quwwat-Qudsiyah ini tidak dimiliki oleh Nabi lainnya. Inilah arti Hadits ‘Ulamaau Ummati Ka Anbiyaai Banii Israail’. Dan di kalangan Bani Israil walaupun telah banyak Nabi datang, tetapi Kenabian bukanlah akibat mengikuti Nabi Musa as, melainkan, Kenabian-kenabian itu secara langsung merupakan suatu anugerah dari Tuhan. Di situ sedikitpun tidak ada peran upaya mengikuti Musa as.” (Haqiqatul-Wahyi, catatan kaki, h. 97).

Bersamaan dengan itu, Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan sangat tegas mengatakan bahwa dampak-dampak stempel Muhammad saw. ini hanya dapat diraih melalui penghambaan diri kepada Rasulullah saw. saja. Dalam buku beliau Haqiqatul-Wahyi, beliau menuliskan:

“Saya senantiasa melihat dengan pandangan yang penuh ta’ajjub, yakni Nabi Arabi yang bernama Muhammad saw ini (ribuan dan ribuan shalawat serta salam atasnya), betapa beliau merupakan Nabi yang berderajat paling tinggi. Puncak akhir kedudukannya yang paling tinggi itu tidak dapat diketahui. Dan mengukur dampak kekudusannya bukanlah pekerjaan manusia. Sangat disayangkan, sebagaimana seharusnya kebenaran itu dikenali, derajatnya ternyata tidak dikenali demikian. Padahal tauhid yang telah hilang dari dunia, justru dialah seorang satria yang telah membawanya kembali ke dunia ini. Dia telah menjalani kecintaan yang paling tinggi dengan Allah dan dalam bersikap solider terhadap umat manusia beliau paling hebat dalam merelakan jiwanya untuk menanggung segala penderitaan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala Yang mengenal rahasia kalbunya, telah menganugerahkan keunggulan padanya atas segenap Nabi dan segenap Awwaliin wal-Akhiriin. Dan Allah telah memenuhi cita-cita atau impiannya juga dan dalam kehidupannya. Beliaulah yang merupakan mata air setiap karunia/berkat. Dan seorang yang mendakwakan suatu fadhilah (keunggulan) tanpa melalui karunianya, berarti orang itu bukanlah manusia, melainkan anak syetan. Sebab, kunci fadhilah telah diserahkan kepadanya.” (Haqiqatul-Wahyi, h. 115-116).

Segala sesuatu yang telah dituliskan oleh Pendiri Ahmadiyah mengenai Khaatamun-Nubuwat pada sisi tersebut, juga didukung dan dibenarkan para Ulama masa sekarang. Ulama terkenal dari kelompok Deubani, Maulana Mahmudul-Hasan dan Maulana Shabir Ahmad Utsmani, menuliskan di dalam terjemahan e-Quran:

“Sebagaimana segenap jenjang cahaya di alam sarana ini berakhir pada matahari, demikian pula untaian segenap jenjang dan segenap potensi-potensi Kenabian serta Kerasulan berakhir pada ruh Rasulullah saw berdasarkan itu dapat dikatakan bahwa dari segi derajat dan zaman, beliau saw adalah Khaatamun-Nabiyyiin. Siapa saja yang telah memperoleh Kenabian, hal itu hanya diperoleh setelah mendapatkan stempel beliau saw terlebih dahulu”.

Demikian pula Pimpinan Darul-‘Ulum Deuban, Maulana Qadir Muhammad Thayyib mengatakan:

“Kemulian beliau saw tidak hanya kepada Kenabian, melainkan juga pada potensi penganugerahan Kenabian. Yakni, siapapun yang telah tampil dihadapan beliau dengan memperoleh kemampuan-kemampuan Kenabian, maka dia telah menjadi Nabi.” (Aftaab Nubuwat Kamil, h. 109, Idarah Utsmaniyah, Anarkali, Lahore).

Kesimpulan
Ringkasnya, tafsir Ahmadiyah tentang ayat 'Khataman-Nabiyyiin' sesuai dengan Alquran, Hadits dan Bahasa Arab – yang hakikat kebenarannya tampak dengan terang bagaikan cahaya matahari. Yakni, pada masa sekarang ini, di dunia umat Islam, hanya Jemaat Ahmadiyahlah yang memperoleh anugerah kebanggaan dalam mengakui Rasulullah saw sebagai Khaataman-Nabiyyiin dari segala aspek maknanya, serta mengimani aqidah suci ini dengan keyakinan yang dijunjung tinggi.

Pendiri Jemaat Ahmadiyah berkata:
“Kami justru menganut agama umat muslim.
Dari kedalaman kalbu ini kami merupakan khadim bagi Khaatamul-Mursaliin saw.
Kami membenci perbuatan syirik dan bid’ah.
Kami dengan menghinakan diri sangat menjunjung tinggi Sang Ahmad saw. Kami mengu\imani segala perintahnya.
Jiwa dan raga kami korbankan di jalan ini.
Kalbu sudah diberikan, kini hanya tinggal jasad yang hina.
Keinginan kami adalah semoga jasad inipun setia senantiasa.”
(Izalah Auham, h.414).




Tafsir Khaataman-Nabiyyiin BerdasarkanHadits-hadits Nabawiyah
Pertama: Setelah turunnya ayat Khaataman-Nabiyyiin, untuk memahami artinya Muhammad Rasulullah saw telah menyerahkan sebuah kunci yang sangat kokoh ke tangan umat. Hendaknya jelas, ayat Khaataman-Nabiyyiin turun pada tahun 5 H. Dan pada tahun 9 H Ibrahim,putra Rasulullah saw wafat. Pada saat kewafatannya Nabi Suci Muhammad saw bersabda:
لَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا
Seandainya (Ibrahim) hidup, tentu dia akan menjadi seorang Nabi yang benar.” (Ibnu Majah, kitabul-Janaiz).
Sabda Rasulullah saw ini adalah sesudah turunnya ayat Khaataman-Nabiyyiin. Dan dari sabda tersebut tampil penafsiran yang jelas terhadap ayat Khaataman-Nabiyyiin. Rasulullah saw bersabda bahwa kata Khaataman-Nabiyyiin bukanlah halangan untuk menjadi Nabi Shiddiq atau Nabi Ummati. Jika menurut Rasulullah saw Khaataman-Nabiyyiin itu berarti bahwa sesudah beliau tidak bisa lagi datang Nabi sejenis apapun, maka pada kesempatan itu tentu Rasulullah saw mengatakan: “Jika putra saya Ibrahim ini hidup, tetap saja ia tidak dapat menjadi Nabi. Sebab, saya adalah Khaatamun-Nabiyyiin.” Namun Rasulullah saw mengatakan: “Walaupun saya merupakan Khaatamun-Nabiyyiin, jika putra saya tetap hidup tentu dia akan menjadi seorang Nabi.” Yakni, yang menjadi penghalang bagi Ibrahim untuk menjadi Nabi adalah kewafatannya, bukan ayat Khaataman-Nabiyyiin. Jelaslah, hal itu sama seperti ketika seorang Mahasiswa cerdas wafat lalu dikatakan, “Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar MA”. Kalimat ini akan diucapkan demikian apabila memang sangat mungkin bagi orang-orang untuk lulus ujian MA. Jika tingkat MA itu sendiri telah tertutup, dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk meraih gelar MA; maka pada saat kewafatan seorang Mahasiswa cerdas tentu tidak dapat dikatakan, “Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar MA.”

Tokoh-tokoh Besar Ahli Hadits sepakat mengenai keshahihan Hadits: “Lau ‘Aasya Ibraahiimu Lakaana Shiddiiqan Nabiyyan” Imam Syahaab menuliskan:
اَمَّا صِحَّةُ الْحَدِيثِ فَلاَ شُبْهَةَ فِيهَا ِلاَنَّه رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ وَغَيْرُهَا كَمَا ذَكَرَه اِبْنُ حَجَرٍ
“Tentang keshahihan Hadits itu tidak diragukan lagi. Sebab, yang meriwayatkannya adalah Ibnu Majah dan lainnya, seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Hajar”. (Ash-Shahab ‘alal-Baidhawi, jld. 7, h.175).

Mullah Ali Qari, seorang Imam terkenal Madzhab Hanafi di kalangan Ahlus-Sunnah wal-jamaah, menuliskan Hadits ini dengan menyatakan kebenaran riwayat dan bobotnya melalui 3 cara:
لَوْ عَاشَ اِبْرَاهِيمُ وَ صَارَ نَبِيًّا وَكَذَا لَوْ صَارَ عُمَرُ نَبِيًّا لَكَانَا مِنْ اَتْبَائِه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَعِيسَى وَالْخِضْرِ وَاِلْيَاسَ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ فَلاَ يُنَاقِضُ قَوْلَه تَعَالَى خَاتَمَ النَّبِيِّينَ اِذِ الْمَعْنَى اَنَّه لاَ يَأْتِي نَبِيٌّ بَعْدَه يَنْسَخَ مِلَّتَه وَلَمْ يَكُنْ مِنْ اُمَّتِه
“Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau Ummati Rasulullah saw. Seperti halnya Isa, Khidhir dan Ilyas ‘alaihimus salam. Hal itu tidak membatalkan Khaatamun-Nabiyyiin. Sebab, Khaatamun-Nabiyyiin itu artinya, sesudah Rasulullah saw tidak bisa datang lagi Nabi lain yang membatalkan syariat beliau saw dan yang bukan berasal dari Ummat beliau saw.” (Maudhu’aat Kabiir, Mulla Ali Qari, h. 69).

Kedua: Di dalam Hadits kata 'Nabiyullah Isa' ‘alaihis salam yang kedatangannya dinubuwatkan oleh Rasulullah saw disebutkan sampai 4 kali, yang berbunyi:
.... إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ ... وَيُحْصَرُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُه ... فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُه ... ثُمَّ يَهْبِطُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُه إِلَى اْلأَرْضِ ... فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُه إِلَى اللهِ ... فَعَلَيْهَمْ تَقُومُ السَّاعَةُ.
"…. Ingatlah ketika Allah memberikan wahyu kepada Isa‘alaihis salam … dan Nabiyullah Isa beserta para sahabatnya dikepung … lalu Nabiyullah Isa beserta para sahabatnya berdoa … kemudian Nabiyullah Isa dan para sahabatnya datang ke bumi itu … lalu Nabiyullah Isa beserta para sahabatnya berdoa … maka Qiamatpun terjadi atas mereka." (Shahih Muslim, Kitabul-Fitan wa Asyrathus Sa'ah, Bab Dzikrud-Dajjal wa Shifatuhu wama ma'ahu.)

Ketiga: Terdapat sebuah Hadits Masyhur dari Rasulullah saw:
اَبُو بَكْرٍ اَفْضَلُ هذِهِاْلأُمَّةِ اِلاَّ اَنْ يَكُونَ نَبِيٌّ
Abu Bakar adalah yang paling utama di dalam umat ini kecuali, bila ada Nabi. (Kunuzul-Haqaiq).
Menurut Hadits, beliau ra menduduki martabat tertinggi di kalangan umat Islam selama belum ada Nabi. Tetapi, jika datang seorang Nabi, maka kedudukan beliau ra bukan lagi yang tertinggi.

Keempat: Dari Aisyah ra diriwayatkan, sabdanya:
قُولُوا اِنَّه خَاتَمُ النَّبِيِّينَ وَلاَ تَقُولُوا لاَ نَبِيَّ بَعْدَه
“Katakanlah, beliau itu Khaatamun-Nabiyyiin, dan jangan katakan tidak ada Nabi sesudah beliau.” (Takmilah Majmaul-Bihar, h. 83)
قُولُوا خَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَلاَ تَقُولُوا لاَ نَبِيَّ بَعْدَه
“Katakanlah Khaataman-Nabiyyiin, dan jangan katakan tidak ada Nabi sesudah beliau.” (Ad-Durul-Mantsur Fit-Tafsiril-Ma'tsur, Juz VI, hal. 618)

Dari Hadits-hadits tersebut jelas bahwa dalam umat Islam ini pintu satu jenis Kenabian masih terbuka yaitu, pintu untuk memperoleh Kenabian Ummati, Ghairu Tasyri' wa Ghairu Mustaqill dengan cara Fanaa Fir-Rasuul saw.

Memang ada hadits-hadits lain yang bertentangan dengan Hadits-hadits ini. Di dalam Hadits-hadits itu secara zhahir pintu Kenabian dinyatakan telah tertutup. Menurut kami secara mendasar, pemecahan terhadap sejumlah Hadits tersebut adalah, Hadits-hadits yang menyatakan Kenabian telah tertutup, di situ yang dimaksud adalah Kenabian yang membawa Syariat atau Kenabian Mandiri. Sedangkan Hadits-hadits yang menyatakan adanya kemungkinan Kenabian, di situ yang dimaksud adalah Kenabian yang tidak membawa Syariat dan merupakan Kenabian Ummati. Dengan demikian terjadi kesesuaian pada seluruh Hadits tersebut. Dan dengan demikian pula seluruh Hadits itu menjadi sesuai dengan ayat-ayat Alquranul-Majiid. Jadi dengan menyimak Hadits-hadits Nabawiyah sekaligus, akan tampak jelas bahwa sesudah Muhammad Rasulullah saw. kedatangan para Nabi pembawa Syariat baru atau para Nabi mandiri, telah tertutup. Ya, kemungkinan datangnya Nabi Ummati dan Nabi yang mengikuti Syariat Muhammad saw masih terbuka. Atas dasar itulah sejumah firqah mempercayai Masih Mau’ud yang bakal datang itu akan merupakan Nabi yang mengikuti Rasulullah saw. Mereka meyakini sebagai Nabi Ummati Rasulullah saw. seperti Kaum Muslimin Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamarnya yang ke 3 di Surabaya tanggal 12 Rabiuts-Tsani 1347 H/28 September 1928, antara lain tentang jawaban atas pertanyaan:

S. Bagaimana pendapat Muktamar tentang Nabi Isa as setelah turun kembali ke dunia. Apakah tetap sebagai Nabi dan Rasul, padahal Nabi Muhammad saw adalah Nabi Terakhir. Dan apakah Madzhab empat itu akan tetap ada pada waktu itu?

J. Kita wajib berkeyakinan bahwa Nabi Isa itu akan diturunkan kembali pada Akhir Zaman nanti sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan Syariat Nabi Muhammad saw dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi Isa as hanya akan melaksanakan Syariat Nabi Muhammad. Sedang Madzhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku) (Ahkamul-Fuqaha Fi Muqarrarat Mu'tamarat Nahdlatul Ulama, Ke I – 15. Hal. 34-35)

Kitab suci Ahmadiyah adalah Alquran. Tadzkirah itu bukan kitab suci Ahmadiyah, tetapi buku yang memuat ilham/wahyu, kasyaf dan rukyaa shalihah yang dikumpulkan dari selebaran-selebaran, catatan-catatan harian dan 84 buku karya Pendiri Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. Ilham/wahyu tersebut termasuk dalam kategori mubasysyirat (kabar gembira/penjelasan), yaitu sebagai penjelasan atau kabar gaib yang merujuk kepada ayat-ayat suci Alquran atau sabda Nabi Muhammad saw atau ungkapan yang menunjuk kepada keadaan atau situasi yang sedang atau akan terjadi di dalam kehidupan manusia agar manusia dapat mengantisipasi atau mendapatkan keteguhan dan keyakinan yang lebih mendalam bahwa Islam adalah agama yang hidup karena Tuhannya tetap hidup, yang dibuktikan dengan masih adanya wahyu sebagai tanda sifat Al-Mutakallim-Nya (sifat berbicara).

Buku Tadzkirah tidak ditulis oleh Pendiri Ahmadiyah, tetapi disusun oleh Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir dan Maulwi Abdur-Rasyid setelah dua puluh tujuh tahun Pendiri Ahmadiyah wafat dan diterbitkan pertama kali oleh Book Depot Ta'lif wa Isyaat Qadian pada tahun 1935 M. Perlu diinformasikan bahwa Tim Klarifikasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah menyusun buku 'Klarifikasi Atas Telaah Buku Tadzkirah' yang terbit tahun 2003, sebagai tanggapan mengenai 'Telaah Atas Buku Tadzkirah' yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan dari Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia. Buku tersebut telah diterima oleh Departemen Agama dan menyatakan bahwa buku TADZKIRAH tersebut bukan sebagai Kitab Suci Ahmadiyah.

Ahmadiyah itu bukan organisasi Eksklusif, tapi inklusif. Karena setiap anggotanya berkewajiban untuk mengenalkan Ahmadiyah kepada siapapun, baik kaum muslimin maupun non muslim. Kini, terbukti bahwa Ahmadiyah terus berkembang dan sudah berdiri di 181 Negara dan di Indonesia sudah memiliki 300 cabang yang indikasinya ditengarai dengan mendirikan masjid dan rumah misi di sebagian besar cabangnya dan terbuka untuk umum.

Ahmadiyah bukan organisasi yang berada di luar Islam, tetapi berada di dalam Islam dan orang yang mengikutinya tidak dapat dikatakan murtad, apalagi disebut non muslim dengan argumentasi bahwa orang Ahmadiyah mengaku dirinya Islam dan melaksanakan Rukun Islam serta meyakini Rukun Iman sebagaimana yang dilaksanakan dan diyakini oleh umat Islam yang lain. Bahkan menurut Hadits Nabi: “Orang yang menunaikan shalat sebagaimana shalat kita dan menghadap kiblat kepada Kiblat kita Ka’bah di kota Mekah dan memakan sembelihan kita, dia itu seorang muslim” (Shahih Bukhari, Kitabus-shalah, bab fadhlu istiqbalil-Kiblah, hadits nomor 391).

Ajarannya tidak sesat dan menyesatkan, karena ajaran Ahmadiyah berdasarkan Kitab Allah Alquran dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad saw sebagaimana Hadits Rasulullah saw:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُولِه
Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, Kitabullah Alquranil-Hakim dan Sunnah Rasul-Nya (Diriwayatkan oleh Malik bin Anas dalam Al-Muwaththa’ dan Misykatu Syarif, Jilid Awal/176)

Menghakimi suatu perbedaan penafsiran adalah mutlak wewenang Allah swt sesuai dengan firman-Nya dalam Alquran antara lain:

اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Allah akan menghakimi diantara kamu mengenai apa yang kamu perselihkan pada Hari Qiamat (Al-Hajj, 22:69)




Tujuan utama pembaharuan Ahmadiyah
Dakwah Islam Ahmadiyah selamanya tidak akan mengingkari ajaran-ajaran Islam sebagaimana fitnah yang telah disiarkan oleh sebagian orang yang menyebarkan kedustaan dan kebohongan. Dakwah Islam Ahmadiyah tidak membatalkan perintah-perintah Alquranul-Hakim, dan tidak menyimpang sekecil atompun dari Sunnah Rasul yang Mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun ada orang-orang yang membuat kedustaan mengira dakwah Ahmadiyah itu mempunyai perbedaan. Sehubungan dengan itu, perlu kami tegaskan bahwa perbedaan kami dengan mereka itu bukan dalam pokok-pokok ajaran Islam dan bukan pula dalam rukun-rukunnya, tetapi hanya dalam perkara-perkara penafsiran sehingga hal itu termasuk dalam perkara Fur’iyah (cabang) yang pertimbangan-pertimbangannya patut mendapat kehormatan, kemuliaan, pembenaran, dan secara menyeluruh pertimbangan-pertimbangannya tidak menimbulkan pengkafiran bagi seorang muslim dan tidak menimbulkan keraguan bagi aqidah seorang mukmin. Dan kami sampaikan ringkasan tentang garis-garis besar Ahmadiyah dalam aspek pembaharuan dan perbaikan kesalahan aqidah, berikut ini:

1. Menegaskan kembali bahwa tidak ada satupun sifat Allah Yang hilang atau berhenti termasuk Al-Mutakallim, artinya Yang Maha berkata-kata sehingga dengan demikian, turunnya wahyu tanpa syari’at secara terus-menerus di kalangan umat Islam untuk para hamba yang shalih dan para waliyullah, berupa kabar-suka atau peringatan masih terus berlangsung dan membantah persangkaan orang-orang yang berpendapat tentang terputusnya segala bentuk wahyu.
2. Menegaskan kembali tidak adanya Nasakh dalam Alquran dan mengukuhkan keserasian semua ayat-ayatnya dalam setiap zaman dan tempat hingga Hari Pembalasan (Yaumud-diin), keadaannya dijaga berdasarkan janji Allah, dan menolak orang-orang yang mendakwakan tentang adanya nasakh dibawah pendapat tentang proses dalam perkara hukum dan lain-lainnya karena beberapa dalih (suatu alasan), tafsir-tafsir yang salah yang dikaitkan dengan Kitab Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

3. Menegaskan kembali kesucian para Nabi dari dosa dan terbebasnya mereka dari kekurangan-kekurangan yang dikaitkan kepada mereka dalam sebagian tafsir dan ceritera-ceritera Israiliyah.

4. Menegaskan kembali sifat kemanusiaan bagi semua Nabi dan tunduknya mereka kepada setiap hukum kehidupan dan kematian, tanpa kecuali yang semua manusia tunduk kepadanya, mulai dari Nabi Adam ‘alaihis salaam hingga Yang Mulia Nabi Muhammad, pemimpin para Rasul dan Khaatam para Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, termasuk juga kewafatan Nabi Isa ‘alaihis salaam serta sifat manusiawinya, dan membantah pendapat tentang kehidupannya dan terangkatnya ke langit dengan jasad wadagnya (materi) dalam keadaan hidup, yang oleh kaum Kristiani dijadikan tipu-daya di kalangan kaum muslimin, dan untuk membatalkan turunnya secara badan wadag; semua itu kami kemukakan dengan dalil-dalil dari Kitab Alquran, Sunnah, kitab-kitab besar karangan para Wali, Ulama dan Para pemikir umat Islam ini.

5. Menegaskan kembali dalil-dalil tentang “Khaataman-Nabiyyiin” dan makna-maknanya secara ruhani dan maksud-maksudnya menurut bahasa (lughatul-Arabiyah), Kitab Alquran, Sunnah, beberapa pendapat Ulama salafiyah yang Shalih, dan contoh model dari para Ahli bahasa Arab zaman dahulu dalam memahami lafazh “Khaatam” dan penggunaannya.

6. Menegaskan kembali kedatangan Al-Masih Al-Mau’ud Sang Imam Mahdi ‘alaihis salaam yang ditunggu-tunggu, sebagai pribadi dari umat Islam dan salah seorang dari para pengikut setia Muhammad Al-Mushthafa Shallalaahu ‘alaihi wa sallam serta sebagai salah satu dari para pelayannya yang tulus.

7. Menegaskan kembali tetapnya hukum Jihad dalam Islam, dasar-dasarnya, dan syarat-syaratnya serta macam-macamnya yang disebutkan dalam Kitab Alquran dan Sunnah serta membantah pemahaman-pemahaman jihad yang salah, yang ekstrim (radikal), yang memburukkan wajah Islam yang diadopsi oleh sebagian orang.



2. Ahmadiyah Ditinjau dari Aspek:

Hukum Fiqih
Amaliyah Ahmadiyah berdasarkan: As-Sunnah, Alquran dan Ijma' Para Sahabat yang Mulia (Pernyataan Imam Mahdi dalam Mawahibul-Rahman).
Dasar Fiqih Ahmadiyah: Alquran, Sunnah, Hadits yang sesuai Alquran dan Sunnah serta sesuai dengan akal sehat, pembedaan antara ushul dan furu’ serta budaya (tradisi). (Pernyataan Khalifatul-Masih II dalam Jasa-jasa Imam Mahdi)

Teologi
Dari aspek ini, Ahmadiyah termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, dengan argumentasi bahwa Ahmadiyah itu berpegang teguh kepada Alquran, Sunnah, Hadits dan pendapat para Sahabat yang mulia, teristimewa Khulafaur-Rasyidin serta mengakui kebenaran Ulama Salaf, teristimewa para Mujaddid yang dibangkitkan pada setiap abad.

Adapun nama-nama Mujaddid yang telah dibangkitkan sesudah masa Khulafaul-Rasyidin dari abad pertama Hijriyah hingga abad empat belas hijriyah menurut Nawwab Shiddiq Chasan Khan bin Ali Al-Qanuji Rachiimahullaahu (1258 – 1307 H) dalam kitabnya Hujajul-Kiraamah fii Atsaril-Qiyaamah, halaman 135-139, adalah sebagai berikut:
1. Hadhrat Umar bin Abdil-Aziz Rachiimahullaahu;
2. Hadhrat Imam Syafi’i dan Hadhrat Imam Hanbali Rachiimallaahu ‘anhuma;
3. Hadhrat Imam Abu Syarah dan Hadhrat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Rachiimallaahu ‘anhumaa;
4. Hadhrat Imam Ubaidillah dan Hadhrat Imam Qadhi Abu Bakar Baqlani Rachiimallaahu ‘anhumaa;
5. Hadhrat Imam Ghazali Rachiimahullaahu;
6. Hadhrat Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani Rachiimahullaahu;
7. Hadhrat Ibnu Taimiyah dan Khawaja Mu'inuddin Cisti Rachiimallaahu ‘anhumaa;
8. Hadhrat Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Hadhrat Shalih ibnu Umar Rachiimallaahu ‘anhumaa;
9. Hadhrat Sayid Muhammad Janfuri Rachiimahullaahu;
10. MujaddidHadhrat Jalaluddin As-Sayuthi Rachiimahullaahu;
11. Hadhrat Syekh Ahmad Sirhind Mujaddid Alfi Tsani Rachiimahullaahu;
12. Hadhrat Syekh Waliyullah Ad-Dehelwi Rachiimahullaahu;
13. Hadhrat Sayid Ahmad Berelwi Rachiimahullaahu.
Sedangkan Mujaddid abad ke-14 akan bergelar Al-Mahdiy dan Al-Masiich.
Mengingat setiap Mujaddid itu dibangkitkan oleh Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, maka ia memberitahukan kepada umat agar mereka mengerti . Demikian pula, pada tahun 1884, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan kemujaddidan beliau melalui 20.000 eksemplar selebaran. Di antara pengakuan beliau sebagai Mujaddid, beliau ‘Alaihis-salaam berkata:
وَوَاللهِ اِنِّيْ قَدْ تَبِعْتُ مُحَمَّدًا وَوَاللهِ اِنِّيْ جِئْتُ مِنْهُ مُجَدِّدًا
“Dan demi Allah, sesungguhnya aku mengikuti Muhammad dan demi Allah sesungguhnya aku datang sebagai Mujaddid dari-Nya.” (Al-Istifta, hal. 354)

Sosiologi
Ahmadiyah memiliki 2 prinsip hubungan, yaitu Hablum minallah wa Hablum minan-naas, artinya berserah diri kepada kehendak Allah dan berbuat baik kepada sesama makhluk (Al-Baqarah, 2:113)
Hubungan sesama makhluk mengacu kepada 3 perintah Allah dan mencegah 3 larangan-Nya, yaitu: berlaku adil, berbuat baik dan berbuat baik seperti kepada keluarga dekat; dan mencegah diri dari perbuatan fakhsya’, mungkar dan Baghyun (An-Nahl, 16:90). Contoh hubungan dengan sesama manusia antara lain tertuang dalam syarat Baiat, semboyan “Love For All Hatred For None”, Humanity First seperti Donor darah dan donor mata serta bantuan kemanusiaan lainnya.

Historis
Sebelum Inggris datang di India, kaum muslimin dianiaya oleh kaum Sikh Hindu baik dalam urusan Agama maupun kemanusiaan. Setelah Inggris datang menjajah India, umat Islam diberi kebebasan beragama, teristimewa dalam melaksanakan ibadah dan dilindungi hak-hak kemanusiaannya. Karena itu Pendiri Ahmadiyah menyampaikan rasa terima kasih dan melarang mengangkat senjata (jihad ashghar/qital) melawan Inggris. Sebab jihad demikian hanya dapat dilakukan jika umat Islam diserang, diperlakukan secara aniaya dan diusir dari negerinya hanya karena alasan keimanannya (Al-Baqarah, 2:190; Al-Hajj, 22:39; Al-Mumtahanah, 60:8). Tapi dalam masalah jihad kabir dengan Alquran (Al-Furqan, 25:52) Ahmadiyah melakukannya dengan gigih keseluruh dunia, termasuk ke negara Inggris, sebagai realisasi tugas Al-Masih yang dijanjikan dalam Hadits antara lain untuk mematahkan salib sebagai asas aqidah Nasrani. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِه لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا وَإِمَامًا عَدَلاً فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَقْبِضُ الْمَالَ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ ، حَتَّى تَكُوْنَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh Isa ibnu Maryam hampir turun di kalangan kalian sebagai hakim yang adil, imam yang adil, lalu ia akan memecahkan salib, membunuh babi, meletakkan pajak, membagi-bagikan harta sampai-sampai tiada seorang pun yang menerimanya, sehingga pada saat itu sekali sujud lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz XIV/38842)

Dalam Hadits lain, dinyatakan bahwa Al-Masih Ibnu Maryam as akan membunuh Dajjal yang pondasi agamanya menggunakan lambang salib, dimana kaum muslimin diperintah berdoa kepada Allah Ta’ala memohon perlindungan dari fitnahnya. Rasulullah saw bersabda:

لَمْ يُسَلِّطْ عَلَى الدَّجَّالِ إِلاَّ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
Tidak ada yang menguasai Dajjal kecuali Isa ibnu Maryam (Al-Thayalisi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38847)
لَيَقْتُلَنَّ ابْنُ مَرْيَمَ الدَّجَّالَ بِبَابِ لُدَّ
Sungguh Ibnu Maryam akan membunuh Dajjal di Ludhiana (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya Mujma‘ Ibnu Jariyah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38849)
يَقْتُلُ ابْنُ مَرْيَمَ الدَّجَّالَ بِبَابِ لُدَّ
Sungguh Ibnu Maryam akan membunuh Dajjal di Ludhiana (At-Turmudzi dari Mujma‘ Ibnu Jariyah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38850)

اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Wahai Allah, aku mohon perlindungan kepada Engkau dari siksa kubur, dan aku mohon perlindungan kepada Engkau dari siksa Neraka, dan aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati, dan aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah Al-Masih Al-Dajjal (Al-Bukhari, Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz II/3695)

Dalam perjalanannya, Ahmadiyah sering dimusuhi dan di terror maupun difitnah baik di India, Pakistan, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa semua itu merupakan ujian bagi keimanan. Bahkan, terkadang menjadi iklan yang berguna bagi Ahmadiyah.

Politik
Jamaah Islam Ahmadiyah Internasional menghormati kepartaian, namun Jamaah ini tidak mengarah ke partai politik dan juga tidak mengarah kepada pembentukan negara. Inilah dasar Ahmadiyah yang kokoh dalam perjalanan dan perkembangannya. Kaum muslimin Ahmadiyah di manapun berada, senantiasa menjauhkan diri dari segala yang akan dapat mengeruhkan kejernihan Islam. Jalan fikiran mereka yang Islami adalah bersifat keagamaan yang murni, sasarannya adalah meluruskan aqidah, memberikan nasehat dan petunjuk dengan cara bijaksana, tutur-kata yang baik dan menyebarluaskan keindahan akhlaq dan ruhani bagi masyarakat menuju tegaknya Islam yang rahmatan lil'aalaamiin dan terjauh dari sikap yang ekstrim dan radikal.

Kaum muslimin Ahmadiyah menghormati Undang Undang suatu Negara dengan menta’ati Pemerintahan yang sah, yai tu Ulil-Amri (yang mempunyai urusan) sesuai dengan keta’atan yang telah diwajibkan syariat Islam. Seorang muslim Ahmadi yang berada di negaranya harus dapat menunjukkan keindahan akhlaq dalam berbagai aspek kehidupan. Ia berkewajiban mematuhi agama dan negaranya agar dapat berpartisipasi dalam membangun demi kemajuan negaranya di lapangan yang berbeda-beda, sesuai dengan motto umat Islam “Cinta tanah air itu bagian dari iman”

Allah Ta’aalaa berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul itu dan orang-orang yang mempunyai urusan di antara kamu, maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul itu jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhir; itulah jalan yang paling baik dan sebaik-baik ta’wil” (An-Nisa, 4:60)

0 komentar:

 
Taman Islam is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com